Tampilkan postingan dengan label Gerakan Lawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gerakan Lawan. Tampilkan semua postingan

Teror dan Politik Ingatan


Pagi, di hari Kamis, pukul 08.30,  seorang pengendara motor menemukan sebuah tas hitam yang terbuka dengan gulungan kabel di dalamnya tergeletak di pinggir jalan Tarakan, Poso. Beberapa menit kemudian, puluhan polisi berkumpul di lokasi dengan senjata lengkap siaga di tangan, beberapa menggunakan telepon genggam, mungkin untuk menghubungi mereka yang mungkin lebih menguasai keadaan saat itu, Densus 88. Jalanan macet dengan kerumunan orang dari jarak jauh, suasana mencekam, ketakutan menyebar, beberapa orang bergegas pulang menegaskan hari ini tidak akan masuk kantor dulu. Kasak kusuk kerumunan menyebutkan benda tersebut bom. Berita disebarkan melalui pesan singkat, telepon atau dari mulut ke mulut, melintasi daerah dan wilayah dengan cepat bahkan sangat cepat sebelum akhirnya diketahui tas hitam itu milik  seorang tukang listrik yang saat peristiwa itu berlangsung sedang memanjat tiang listrik untuk memperbaiki antenna salah seorang warga. Melegakan. Melegakan, namun menit itu telah cukup signifikan mempengaruhi kehidupan warga di hampir seluruh wilayah Kabupaten Poso. Mempengaruhi, bukan hanya karena peristiwa ini bukan yang pertama. Pada saat itu peristiwa-peristiwa lama diingatkan kembali dalam ingatan kolektif tentang konflik yang sebelumnya pernah terjadi di wilayah itu. Konflik Poso. Karena itu, tulisan ini akan membicarakan peristiwa-peristiwa di Poso saat ini dalam rangkaian politik ingatan dan dampaknya bagi perdamaian yang sejati di Poso.

The Power to Rebuild: Conflict Post Poso Conflict


Before a crowd of thousands of Poso residents in late 2009, roughly three years after Christian-Muslim violence in the region had ended, Poso district head Piet Inkiriwang extolled the virtues of investment. ‘If investors come to Poso, we will all shower in money,’ he told the crowd. ‘You’ll have bucketloads.’ These buckets of money were to come from new jobs and compensation payments for land that investors would need.

Economic development is essential to rebuild Poso. But investment does not automatically lead to recovery. All over Indonesia, district heads compete to bring in new investment to their regions. Too often, a pattern of development results in which the government and large companies collude to maximise profits or for personal gain. Meanwhile, communities often have little choice but to accept unfavourable deals in the face of intimidation or to satisfy pressing short-term economic needs.

Menampuk Bara EPA Indonesia-Jepang di Kepala Nelayan Morowali


“Indonesia harus menjamin pasokan gas alam untuk Jepang, selain itu harus segera menyelesaikan Undang-Undang Penanaman Modal” pernyataan ini disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, November 2006 menanggapi Presiden Yudhoyono yang mengatakan penting untuk mempercepat penyelesaian perundingan Economic Partnership Agreement (EPA) Indonesia – Jepang. Setahun kemudian keduanya menandatangani surat persetujuan EPA. 6 diantara 7 proyek tersebut adalah eksploitasi energi di Indonesia. Setelah efektif diberlakukan Juli 2008, hubungan Indonesia dan Jepang tidak lepas dari politik energi dan sumber daya alam.

Untuk memenuhi pasokan energi yang dibutuhkan Jepang atau menjalankan EPA, di pantai timur Sulawesi Tengah, PT Pertamina Medco Tomori Sulawesi yang merupakan joint venture antara pemerintah dan Medco Energy melakukan eksploitasi minyak dan gas Blok Donggi-Senoro.

Perwujudan EPA ini kemudian mengubah ribuan kehidupan para nelayan dan petani di Morowali. Ekosistem laut hilang dan rusak, para nelayan kehilangan sumber mata

Monster Tower PLTA Sulewana

The Tower is our Monster from Peura Poso on Vimeo.

Desa Peura ,Poso. Film pendek yang menceritakan potret wilayah pasca konflik di Indonesia, dimana petani dan nelayan berhadapan dengan perusahaan yang didukung oleh pemerintah dan militer. Bertahun-tahun menolak pembangunan tower PLTA Sulewana milik PT Poso Energy, anak perusahaan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia. Mereka mengalami intimidasi, kekerasan, kriminalisasi bahkan pecah belah di dalam keluarga dan masyarakat.

Hanya ada satu kata: LAWAN !

URGENT ACTION: Don’t let the violence and people's blood flowing in Poso land

Dear Colleague,

We need your help today to stop the hydropower project of PLTA Poso 2, at the sulewana river, and construction of channel high voltage electiric towers and network (SUTET), and state violence, without any protection and respect for community rights.

Since April 2005, PT.Hadji Kalla and PT Bukaka Hydropower Engineering & Consulting Company (Jakarta), companies owned by M. Jusuf Kalla (Vice President RI from 2004 to 2009, see: http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Jusuf_Kalla), have been taking away people’s land and garden around the Sulewana river, at Sulewana village, Poso, Central Sulawesi. The land is taken to build a mega dam project and hydroelectric power project of PLTA Poso 2 with a capacity of 180 MW of 740 MW planned. There are about 2,000 peoples live in Sulewana village will be affected directly and indirectly from the mega project.

Satu Tower, Seribu Siasat Pecah: Politik Bungkam Rakyat Peura

“Kami ini orang bodoh, bilang saja begitu.Kami ini memang cuma lulus SD,masih untung kalo ada yang SMP.Tapi karena itu pula kami ini tidak punya kepentingan politik atau mau jadi ini,mau dapat itu. Kami ini cuma mau hidup kami,anak cucu kami ke depan aman dan sejahtera.(Bapak J, Warga Peura)
“Kemarin saya belum jadi lapor itu warga Peura ke Polisi, tapi hari ini saya mo jadi lapor karena warga so (sudah) bikin perbuatan tidak menyenangkan ”(Bapak RT, Sub-kontraktor)
“Selesaikan masalah Peura tanpa konflik”(Jusuf Kalla dalam kunjungan ke PLTA Sulewana)



Saat itu hujan. Sangat deras. Udara dingin dari arah perbukitan dan danau menusuk masuk menyusup dalam kulit,hingga tulang. Angin berhembus kencang hingga suaranya terdengar marah. Aktivitas warga di desa yang dulunya penuh kehangatan itu langsung berhenti. Sebagian masuk dalam rumah. Sunyi. Hanya beberapa warga di dalam tenda berwarna biru yang nampak masih beraktivitas. Suasana itu dipecahkan oleh bunyi deru mesin mobil dari jauh. Serentak sekian mata di dalam tenda mencari tahu sumbernya sambil bertanya, siapa?Begitu tahu mobil itu adalah mobil pembawa batu ciping yang disewa sub kontraktor, seorang lelaki tua renta bangkit dari dalam tenda. Tanpa kata-kata menerobos hujan, menuju jalan terbuka lalu duduk di tanah. Diam. Matanya memandang ke depan menggambarkan tekad bajanya. Laku lelaki berusia berusia 65 tahun dan dipanggil ngkai di desa ini langsung diikuti sekitar 35 ibu-ibu.Mereka mengikuti Ngkai, duduk dan diam di tanah, di tengah jalan, mata memandang tajam ke arah datangnya mobil. Hujan bertambah deras.

Satu Tower dan Seribu Kehidupan Rumah Tangga di Peura

“Sejak Bukaka mau bangun tower di sini, kami tidak lagi hidup tenang.
Bukan cuma karena pikir-pikir itu tower punya dampak SUTET,
tapi yang lebih parah, diantara kami sesama saudara, kakak adik,
sudah saling bermusuhan, saling ancam, tidak saling menyapa,
bahkan saat natal. Kami sepertinya tidak bersaudara lagi”
(ibu Betty, warga Peura)

“kalau masyarakat bilang itu tower di atas harga mati,
perusahaan juga bilang itu tower di bawah harga mati.
Jadi, kalau dua-dua sudah harga mati, siapa sebenarnya yang akan mati?
(Bapak S, staff PT.Poso Energy)


Peura.Kehidupan di desa seluas 52 km persegi dan terdiri dari 1034 jiwa ini sontak berubah. Pasalnya ada pada satu tower, tower 52. Tower 52, milik PT Poso Energy kini menjadi bagian penting yang mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat Desa Peura. Bagi perusahaan, keberadaan satu tower tersebut sangat penting untuk menyambung keberadaan tower lain sehingga dapat mengalirkan listrik hingga ke Sulawesi Selatan. Tanpa satu tower tersebut, seluruh aktivitas perusahaan tidak dapat dilanjutkan. Sementara itu bagi masyarakat Peura, keberadaan satu tower tersebut telah mengubah drastis kehidupan mereka baik kehidupan ekonomi, kehidupan sosial budaya hingga dinamika politik di desa yang dulunya dikenal nyaman, tenang dan penuh kehangatan persaudaraan. Tower tersebut melewati pemukiman warga. Isu dampak SUTET mengawali perdebatan mengenai boleh tidaknya membangun tower di tengah pemukiman. Lalu warga terbagi dalam dua kelompok besar, mereka menolak pembangunan tower di tengah pemukiman, dan mereka yang menerima.

Pasca Kolonial?Membincangkan lagi Merdeka itu..(catatan kecil)

Bagaimana mengartikan kemerdekaan setelah Indonesia diproklamasikan merdeka? Perayaan meriah yang terlihat di banyak media massa, simbol, bahasa yang digunakan memperlihatkan kemerdekaan dipahami sebagai terbentuknya negara, terlepasnya dari penjajahan negara lain (baca:Belanda). Memang, dari asal katanya kolonialisme (latin:Colonia=pertanian-pemukiman) berarti penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Bahkan, menilik asal katanya, sesungguhnya kemerdekaan patut diperbincangkan lagi, meskipun jika dilihat dari segi wilayah dan waktu kolonialisme secara harafiah sudah berakhir. Selain itu,teori pascastrukturalis mengingatkan untuk melihat kembali lebih jauh kebelakang. Bahwa, kolonialisme bukanlah satu-satunya sejarah dari masyarakat, sehingga kita bisa sekaligus bertanya juga: apa yang terjadi sebelum pemerintahan kolonial?ideologi-ideologi, sistem hierarki, praktek-praktek kehidupan apa yang sudah ada lalu bertemu dalam proses kolonialisme? Tulisan ini hendak tergoda untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan identitas Indonesia pasca kolonialisme, namun memilih membincangkan bentuk lain kolonialisme pasca kolonial karena kepentingan mendesak untuk membicarakannya.

Kolonialisme yang ditandai aspek penguasaan dan penaklukan menghubungkan pengertian kolonialisme dengan imperialisme. Lenin dan Kautsky (Imperialism, The Highest Stage of Capitalism,1947) menghubungkan makna imperialisme dengan kapitalisme. Imperialisme dipandang sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme. Hal ini terjadi ketika modal berlimpah, sementara sumber alam dan tenaga dalam egeri semakin terbatas. Lalu, modal yang diada dipakai untuk mencari keuntungan di luar negeri. Dalam konteks sekarang imperialisme tidak terjadi secara langsung dalam bentuk penguasaan wilayah negara. Dalam hal inilah imperialisme tidak lagi dipahami sebagai pengambilalihan wilayah dan perampasan sumber material semata. Imperialisme dipahami sebagai sebuah sistem global yang melakukan penetrasi bidang ekonomi, pengendalian pasar, serta tekanan politik negara maju dan kaya terhadap negara-negara miskin, misalnya kontrol “imperialisme Amerika” atas negara-negara di dunia dalam bidang ekonomi, politik dan militer meskipun tidak mempunyai kendali politis secara langsung (Loomba,1998)

Indonesia, pasca 65 tahun yang lalu memproklamasikan kemerdekaan adalah contoh sempurna yang menggambarkan bagaimana sistem imperialisme itu berlangsung. Kebijakan hutang luar negeri yang dipastikan menjadi warisan generasi bergenerasi Indonesia, lahirnya Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, mengubah artikulasi perspektif otonomi pada konteks desentralisasi pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pada akhirnya terjadi kecenderungan adanya fleksibilitas pemerintah daerah untuk membuka ruang bagi investor melalui produk kebijakan yang pro-modal dan berorientasi pertumbuhan ekonomi. Undang-undang tersebut diikuti dengan penetapan kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang berlandaskan Hak Menguasai Negara (HMN), lalu ketentuan-ketentuan sektoral yang menyangkut hutan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990) dan peraturan lainnya terbukti tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang Dasar tetapi juga menjadi legitimasi monopoli penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Demikian pula halnya yang terjadi di Sulawesi Tengah.

Sumberdaya alam diperlakukan sebagai komoditi dan alat produksi, mengabaikan sub-sistem sosio kultural. Akhirnya, penguasaan dan penaklukan tanah-tanah rakyat dalam praktek langsungnya melenggang masuk di negeri yang kaya ini. Wilayah dimanapun yang kaya sumber daya alamnya diserbu investasi yang diijinkan kekuasaan atas nama pembangunan, menggunakan aparat negara yakni aparat negara ideologis (sekolah, media, agama, dan sistem politik) serta aparat negara represif (militer dan polisi) (Althusser). Sehingga setiap hari di negeri yang memproklamirkan kemerdekaan 65 tahun yang lalu, para petani kehilangan tanahnya, orang miskin bertambah, rumah-rumah digusur, kematian karena kelaparan terjadi, buruh dibayar murah berbanding terbalik dengan kelompok orang kaya semakin makmur, koorporasi nasional internasional sukses dengan gemilang. Karena itulah kemerdekaan tidak lagi menjadi bermakna ketika penjajahan, penundukan, penguasaan masih berlangsung dalam bentuknya yang sistematis. Ironisnya dilakukan oleh negara yang diamanatkan untuk melindungi rakyatnya.

Maka simaklah kembali Proklamasi Kemerdekaan itu, yang mengarisbawahi kemerdekaannya atas nama SELURUH RAKYAT INDONESIA, bukan sekelompok atau segelintir orang. Juga ingatkan lagi lagu kebangsaan Indonesia Raya, khususnya stanza kedua dan stanza ketiga, yang didalamnya terkandung amanat perjuangan kemerdekaan: “menyematakna semuanya”, Rakyatnya,, tanahnya, pulaunya, lautnya (tentu didalamnya hutan, tambang, sungai, air) (Wiradi, 2004). Bunyinya:

Stanza 2:
Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya, semuanya
Sadarlah hatinya
Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya

Stanza 3 :
Marilah kita berjanji, Indonesia abadi
Selamatkan tanahnya, selamatkan Putranya, Pulaunya, Lautnya, Semuanya”

Maka, membincangkan kembali kemerdekaan adalah mengembalikan maknanya pada kemerdekaan rakyat, tanah, pulau, laut, semuanya. Mengembalikannya berarti melakukan sesuatu, menggunakan bahasa, simbol, untuk didengarkan; memberikan aksi sebagai peringatan pada penguasa. Terus…terus melakukannya hingga kemerdekaan menjadi milik semuanya (bukan segelintir orang). Lalu itu berarti menghapuskan penguasaan, penaklukan tanah-tanah atas nama apapun yang menindas rakyat, pun atas nama pembangunan. Rebut, dapatkan!

(Poso, 17 Agustus 2010)

Daulat Negara dan Investor atas Sumber Daya Alam: Teror Massa dan Disiplin Tubuh (Refleksi atas penangkapan aktivis dan petani di Banggai)



Oleh Lian Gogali

27 Mei 2010, Eva Susanti, koordinator Front Advokasi Sawit (FRAS) dan Nasrun Mbau, serta M.Arif, keduanya adalah petani di Banggai ditangkap polisi Banggai. Penangkapan ketiganya diikuti dengan penangkapan 23 petani lainnya pada hari berikutnya. Pihak kepolisian beralasan penangkapan tersebut dilakukan karena aksi spontan yang mereka lakukan yang mengakibatkan rusaknya peralatan PT Berkat Hutan Pusaka (BHP) dan camp PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS).

Penangkapan aktivis dan petani di wilayah Banggai ini bukanlah yang pertama dilakukan. Sebaliknya pola penangkapan berikut alasannya memiliki kemiripan dimanapun wilayah yang akan dijarah. Jika seseorang atau sekelompok masyarakat menentang rencana pembangunan, perluasan wilayah perusahaan (dalam kasus di Banggai, minyak dan gas serta sawit), maka tidak hanya diteror tetapi juga disingkirkan dengan paksa, menggunakan segala cara. Dalam hal metode segala cara inilah, perselingkuhan negara dan investor nampak vulgar, tidak lagi malu-malu, sebaliknya dengan apik menggunakan dua hal yang disebut Althuser sebagai represive state apparatus dan ideological state apparatus.

Aksi Spontan Rakyat Menuntut Hak Vs Reaksi Sistematik Aparat Keamanan: Catatan terhadap Fenomena Sosial Pemadaman Lampu di Tentena

“kami hanya menuntut hak kami atas kewajiban negara” ungkapan ini muncul dari masyarakat dalam diskusi terkait fenomena penangkapan pasca aksi spontan masyarakat yang berakibat pada rusaknya kantor PLN ranting Tentena. Tetapi Negara melalui apparatus pemerintahannya didukung penuh oleh aparat keamanan rupanya memandang lain aksi spontan itu sebagai semata-mata pelanggaran hukum atau kriminal murni. Parahnya, reaksi atas cara pandang yang demikian mengakibatkan perilaku represif dalam masyarakat. Tulisan ini hendak mengkritisi reaksi dan penanganan atas aksi spontan masyarakat yang menjadi korban pemadaman lampu di Tentena dan upaya kritis masyarakat atas pemadaman lampu.

Kemarahan rakyat dalam bentuk demonstrasi, hingga adanya aktivitas spontan yang mengakibatkan rusaknya kantor PLN seperti yang terjadi di Tentena, Sulawesi Tengah adalah bentuk akumulasi ketidakpuasan pelayanan Negara terhadap rakyat. Disebut sebagai akumulasi karena tidak adanya ruang dialog, dan komunikasi yang dilakukan oleh pihak PLN terhadap pemadaman listrik ditengah masa raya Natal yang notabene membutuhkan listrik. Apalagi pengalaman bahwa kehadiran pejabat pemerintahan dan atau kepentingan politik di wilayah ini seringkali diakomodir dengan ketersediaan listrik sehari penuh. Disebut sebagai akumulasi karena pengrusakan yang dilakukan tidak terorganisir melainkan bentuk reaksi spontan.

Bukannya melakukan pembenahan terhadap manajemen PLN termasuk membenahi peralatan listrik yang rusak, protes masyarakat dihadapi dengan kekuatan aparat keamanan lengkap, melakukan penangkapan dan mengintimidasi masyarakat melalui proses pemanggilan. Aparat keamanan dihadirkan baik saat pengrusakan terjadi maupun pasca pengrusakan. Menyadari kelalaiannya dalam mengkomunikasikan pemadaman listrik, sehari setelah pengrusakan, pihak PLN berkeliling menyampaikan pengumuman kepada masyarakat dengan dikawal polisi dan tentara. Perbedaan maksud kehadiran aparat keamanan ini bisa dikategorikan dalam dua hal. Pertama, pada saat pengrusakan terjadi aparat keamanan cenderung membiarkan massa bahkan bertugas sebagai pengatur lalu lintas. Tidak ada usaha pencegahan ataupun pengamanan wilayah yang dirusak menjadi terkendali dari amuk massa. Sementara itu, pasca pengrusakan kantor PLN, aparat keamanan menampilkan sosok sebagai penegak hukum yang menindak pelanggaran hukum. Dengan kata lain, keterlibatan aparat keamanan pasca pengrusakan membalikkan posisi rakyat sebagai oknum kriminal murni disertai tekanan psikologis terhadap masyarakat.

Keterlibatan aparat keamanan dan tindakannya yang represif pasca pengrusakan kantor PLN menunjukkan tiga hal. Pertama, bertujuan untuk membelokkan isu protes yang diusung masyarakat, yakni pemenuhan listrik, menjadi isu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Dampak dari pembelokan isu ini adalah menumpulkan, melumpuhkan kesadaran kritis masyarakat atas kewajiban Negara terhadap hak rakyat, menjadikannya sebagai permakluman atas nama ketidakmampuan daya atau peralatan yang rusak. Akibat lanjutannya adalah terjadi polarisasi dalam masyarakat terkait kasus pengrusakan sebagai bentuk protes, yakni masyarakat yang semata-mata mengutuk pelaku pengrusakan sebagai kriminal murni meskipun mereka sendiri memiliki protes yang sama. Disatu pihak terdapat masyarakat yang mendukung upaya protes yang dilakukan meskipun tidak menduga terjadinya akumulasi aksi yakni pengrusakan.

Kedua, menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakdewasaan apparatus pemerintahan dalam menyikapi protes dan tuntutan masyarakat. Ketidakmampuan dan ketidakdewasaan ini ditunjukkan dengan cara menakut-nakuti setiap bentuk protes dan aksi yang dilakukan masyarakat dengan menghadirkan aparat keamanan bersenjata lengkap termasuk masyarakat sipil bergaya militer. Pemanggilan saksi dalam kasus pengrusakan yang intimidatif diikuti dengan membuang isu akan terjadi penangkapan besar-besaran termasuk merobohkan posko Aliansi Masyarakat Korban Pemadaman Listrik tidak saja represif tetapi juga menunjukkan watak hukum yang militeristik.

Ketiga, terjadi upaya yang sistematis dari apparatus pemerintahan bersama dengan aparat keamanan untuk menghalang-halangi keterlibatan masyarakat dalam mengawal, mengawasi, mengontrol penanganan kasus pengrusakan kantor PLN sekaligus melumpuhkan kekritisan masyarakat dalam pengelolaan listrik di daerah. Posko Aliansi Masyarakat Korban Pemadaman Lampu yang dibangun di depan Polsek Tentena bertujuan untuk menyoroti penyebab terjadinya peristiwa spontanitas warga yang berakibat rusaknya fasilitas kantor PLN ranting Tentena dan menjadi ruang alternative yang bersifat informative dalam proses penyidikan kasus.

Tanpa menafikan proses hukum yang terus berlaku terkait pelaku aksi spontan yang berakibat pada pengrusakan kantor PLN, perilaku apparatus pemerintahan bersama aparat keamanan tidak dapat dibenarkan, sebaliknya harus di lawan dan dihentikan. Dalam masyarakat yang kapitalistik, korban utama dan berlapis adalah masyarakat marginal. Apparatus pemerintahan dan aparat keamanan yang diasumsikan bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat (baca:terutama yang marginal) tidaklah pantas sebaliknya amat memalukan melakukan tindakan represif dan arogan dengan melibatkan seluruh kekuatan mereka untuk menghancurkan, melumpuhkan kekuatan sosial masyarakat.

Karena, negara berkewajiban memenuhi hak sosial dan ekonomi rakyat Indonesia, termasuk pemenuhan penyediaan listrik. Jika negara tak mampu memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya, maka rakyat berhak untuk menuntut. Dengan kata lain, kelalaian Negara dalam persoalan listrik ini bisa didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum sehingga bisa diajukan ke pengadilan umum. Tetapi rupanya realitas hukum di Indonesia berbalik arah menyerang upaya rakyat mendapatkan haknya.

Kronologis Aksi Spontan Perusakan PLN Tentena dan Reaksi Represif Aparat Keamanan


Dampak dari aksi Spontan masyarakat Terkait Pemadaman Lampu tanpa komunikasi yang baik, yang berakibat pada perusakan kantor PLN Ranting Tentena, ternyata berlanjut hingga saat ini. berikut ini kronologis perkembangannya:

11-12-09 Terjadi konsentrasi massa di depan kantor PLN Ranting Tentena dikarenakan pemadaman listrik oleh PLN ---> Massa ---> 19.30 ---> Spontanitas warga tidak terkendali,

11-12-09 Massa melakukan pengrusakkan kantor PLN melalui pelemparan batu keatap dan kaca-kaca jendela kantor PLN ----> Massa ---> 19:42 s/d ¬ + 20:45 ---> Pada saat di TKP tidak terlihat upaya dari pihak keamanan untuk mengantisipasi dan mengendalikan massa

11-12-09 Massa dari berbagai penjuru mulai berdatangan sehingga jumlah massa bertambah besar , sehingga memenuhi jalan di sekitar Kantor PLN Ranting Tentena ---> Massa ---> 20:46 s/d ¬ +
21:30 Bertambahnya massa dan situasi gelap di sekitar kantor PLN karena pemadaman listrik

11-12-09 Pihak keamanan polsek Pamona Utara datang ke TKP dengan kekuatan perseonil sebanyak 1 mobil patrol dan 1 truk polisi yang kemudian disusul lagi dengan Brimob. Kemudian disusul dua truk bantuan dari polres Poso ---> Massa, aparat. + 21:35 Pihak keamanan melakukan lokasir dan mengendalikan keadaan.

11-12-09 Aparat keamanan menguasai lokasi, disusul kehadiran unsur pimpinan kecamatan ----> Aparat keamanan, masyarakat, Camat + 20:10 Terjadi pertentangan kecil(adu mulut)antara masyarakat dengan camat.

11-12-09 Situasi makin terkendali,aparat keamanan melakukan police line dan beberapa diantara aparat keamanan melakukan pengumpulan informasi awal.Dan
Setelah situasi meredah perlahan – lahan masa meninggalkan TKP lalu membubarkan diri -------> Aparat keamanan,masyarakat + 21:00 s/d 22:30 Aparat melakukan penghimpunan informasi dari masyarakat sekitar TKP dan pihak pemerintah setempat.

12-12-09 Pihak kepolisian melakukan pemanggilan terhadap sejumlah masyarakat,baik melalui prosedur pemanggilan maupun tanpa surat pemanggilan. ----> Aparat keamanan,masyarakat + 09:00 s/d 14:00 Pemanggilan yang di lakukan oleh KEPOLISIAN secara acak dan menimbulkan keresahan di masyarakat.

12,13,14,15 - Des-2009 = Proses pemamanggilan masyarakat sebagai saksi tidak mendapat respon positif karena masyarakat merasa resah akibat perlakuan aparat ---->. Aparat keamanan + 09:30 s/d 12:15 Masyarakat resah karena terbangun opini akan terjadi penangkapan.

14,15,16 - des 2009 = Ada beberapa masyarakat yang di jadikan target pemanggilan dalam proses kepolisian dalam pengungkapan khasus mendapat bujukan maupun perlakuan yang represif berupa ancaman dan pemaksaan agar memberikan keterangan. ----> Aparat keamanan,masyarakat + 09:30 s/d 17:00 Hasil temuan pihak kepolisian di TKP bahwa terjadi penjarahan sehingga masyarakat menjadi resah dan sebagai dampak di masyarakat telah terjadi saling tuding berkaitan dengan dugaan pelaku.

16,17-12-09 Warga yang pasrah mengikuti pemanggilan di periksa di POLSEK PAMONA UTARA dan ada sebagian menjalani pemeriksaan di luar kantor POLISI( di HOTEL dan tempat lain)----->Aparat keamanan,masyarakat + 11:00 s/d 16:30 Dalam menjalani pemeriksaan,beberapa keterangan masyarakat di catat dengan tulis tangan oleh kepolisian dan setelah itu di minta untuk di tanda tangani.

17-12-09 Setelah proses pemeriksaan saksi,terjadi penangkapan dan pencarian terhadap beberapa masyarakat yang di duga oleh KEPOLISIAN sebagai saksi dan pelaku pengrusakan. ------> Aparat keamanan,masyarakat + 16:00 s/d 20:45 Proses penangkapan dan pencarian masyarakat tidak dapat di terima oleh masyarakat,terutama bagi pihak keluarga yang di tangkap karena dilakukan dengan cara yang berlebihan dan menimbulkan kepanikan dalam masyarakat.

19-12-09 Berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat Tentena pasca kejadian di atas,lahir suatu aliansi gerakan social masyarakat yang peduli terhadap situasi dan proses prosedur penanganan hokum yang di lakukan pihak kepolisian ------>Masyarakat + 09:00 Bentuk respon situasi dan kondisi masyarakat yang ada,maka harus ada gerakan control dalam proses sehingga tidak menimbulkan gejolak yang lebih buruk dalam bentuk mediasi,sosialisasi dan penyadaran terhadap hak masyarakat terkaitproses prosedur hokum.

19-12-09 Terjadi intimidasi dalam gerakan social pada saat pembuatan posko aliansi gerakan social masyarakat oleh pihak kepolisian dalam bentuk show force. --------> ALIANSI + 10:00 Gerakan ini lebih menyorot kepada penyebab terjadinya peristiwa spontanitas warga yang berakibat rusaknya fasilitas kantor PLN ranting TENTENA dan proses penanganan di kepolisian dengan langkah awal pembuatan posko yang bersifat informative dalam proses penyidikan kasus

19-12-09 Melakukan publikasi kemasyarakat melalui dialok tematik radio dengan nara sumber KEPOLISIAN,PLN DAN ALIANSI GERAKAN SOSIAL .Namun tidak dihadiri oleh pihak KEPOLISIAN (sector PAMONA UTARA) -------> ALIANSI 20:00 s/d 22:00 Sangat di sesalkan ketidak hadiran pihak KEPOLISIAN karena dianggap sangat berkompeten terkait prosedur proses hukum

20-12-09 Adanya isu penangkapan yang lebih besar terhadap masyarakat,berdampak pada phisikologi masyarakat yang pada saat ini sedang menghadapi masa raya NATAL -------->>> KEPOLISIAN 07:00 s/d 23:00 Situasi ini merupakan bukti awal bahwa lemahnya kerja – kerja penangan pihak kepolisian dalam proses penanganan kasus.

21-12-09 Posko Aliansi korban pemadaman lampu yang dibangun depan polsek dirobohkan oleh Pol PP. ------->>Polisi Pamong Praja + 08.00 Upaya represif dengan melibatkan sipil bergaya militer untuk menghindari tudingan pihak Kepolisian anti LSM


============================
Kronologis ini dibuat oleh Aliansi Masyarakat Korban Pemadaman Listrik (Wasantara, LP2M, YPAL, LBH Sulteng, Walhi Sulteng, AMAN-Asian Muslim Action Network Poso)
 Wednesday, December 23, 2009 at 10:48am