Daulat Negara dan Investor atas Sumber Daya Alam: Teror Massa dan Disiplin Tubuh (Refleksi atas penangkapan aktivis dan petani di Banggai)



Oleh Lian Gogali

27 Mei 2010, Eva Susanti, koordinator Front Advokasi Sawit (FRAS) dan Nasrun Mbau, serta M.Arif, keduanya adalah petani di Banggai ditangkap polisi Banggai. Penangkapan ketiganya diikuti dengan penangkapan 23 petani lainnya pada hari berikutnya. Pihak kepolisian beralasan penangkapan tersebut dilakukan karena aksi spontan yang mereka lakukan yang mengakibatkan rusaknya peralatan PT Berkat Hutan Pusaka (BHP) dan camp PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS).

Penangkapan aktivis dan petani di wilayah Banggai ini bukanlah yang pertama dilakukan. Sebaliknya pola penangkapan berikut alasannya memiliki kemiripan dimanapun wilayah yang akan dijarah. Jika seseorang atau sekelompok masyarakat menentang rencana pembangunan, perluasan wilayah perusahaan (dalam kasus di Banggai, minyak dan gas serta sawit), maka tidak hanya diteror tetapi juga disingkirkan dengan paksa, menggunakan segala cara. Dalam hal metode segala cara inilah, perselingkuhan negara dan investor nampak vulgar, tidak lagi malu-malu, sebaliknya dengan apik menggunakan dua hal yang disebut Althuser sebagai represive state apparatus dan ideological state apparatus.


Pertama, penangkapan aktivis dan petani ini adalah bagian dari strategi tongkat pemukul, yakni strategi ancaman dengan cara menakut-nakuti masyarakat untuk tidak melakukan protes, juga berhenti melakukan perlawanan. Kunci untuk membuat strategi ini efektif adalah keberadaan aparat keamanan di lokasi di mana kepentingan pemodal ingin diamankan dari kemungkinan gangguan masyarakat setempat. Unjuk kekuatan (show of force) aparat keamanan pada tanggal 17 Mei 2010 dimana terdapat setidaknya 350 orang aparat militer KODIM 14308/Banggai bersenjata lengkap mengadakan latihan perang di areal Hutan Tanaman Industri milik PT BHP, merupakan bagian dari strategi ini. Sebelum latihan perang diadakan, aparat TNI menyisir seluruh lokasi mengusir para penambang dan petani Kedatangan aparat TNI ini juga didukung alat berat (dozer) milik PT. Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS). Tidak cukup itu, aparat juga melakukan penggusuran jalan-jalan petani sehingga mengakibatkan jalan petani menuju areal perkebunan rakyat dan persawahan tertutup (Press Release WALHI Sulteng).

Dapat diduga, para petani kemudian melakukan protes yang berakhir pada pembakaran dan perusakan. Peristiwa inilah yang melegitimasi penangkapan, intimidasi dan penganiayaan yang sistematis. Disebut sistematis karena setelah melakukan penangkapan pertama, aparat Polres mendapatkan bantuan dari Polda Sulteng dengan pengiriman dua truk Brimob daerah Tojo Una-una yang langsung bermarkas di wilayah Toili; bahkan secara mengejutkan dibantu oleh 20 penyidik Polda Sulteng yang langsung menangani kasus baik interogasi maupun ke lapangan. Selanjutnya penangkapan dilakukan secara bertahap, setiap hari beberapa orang dipanggil sebagai saksi lalu ditetapkan sebagai tersangka. Penangkapan terakhir dilakukan dengan menyeret petani keluar dari rumah tanpa pakaian, dipukuli dan diintimidasi pada pukul 03.00 04.00 dinihari. Selanjutnya protes terhadap penangkapan ini ditanggapi dengan kehadiran massa tandingan dari pihak perusahaan yang mengejar-ngejar para petani dengan senjata tajam (parang) sehingga melengkapi teror ini.

Sejarah perlawanan terhadap perampasan sumber daya alam di wilayah ini telah memberikan contoh yang menarik dimana intimidasi, teror seringkali menimbulkan kesadaran massa atas ketidakadilan. Kesadaran pada tingkatan ini pada satu sisi menguatkan perlawanan misalnya munculnya ancaman dari para petani yang keluarganya ditangkap untuk kembali melakukan aksi besar. Namun disisi lain karena tidak berlangsung secara komunal juga membawa pada pilihan untuk aksi spontan yang kemudian dapat dilegitimasi sebagai sebuah pelanggaran hukum semata. Seperti yang ditunjukkan pada hal yang kedua.

Hal kedua, aksi spontan yang dilakukan petani untuk menuntut haknya atas tanah, membela hidupnya yang dirampas dengan tidak adil, tidak penting dimata hukum. Sebaliknya rusaknya alat berat alat berat perusahaan dirasakan lebih penting daripada kehidupan yang telah dirampas dari para petani. Dengan kata lain, tindakan aparat TNI tersebut tidak diperhitungkan sebagai tindakan yang merugikan kepentingan masyarakat apalagi diperhitungkan sebagai tindakan yang telah meniadakan kehidupan para petani. Hukum diperuntukkan bagi mereka yang dianggap melanggar kepentingan perusahaan. Hukum menjadi milik mereka yang berkuasa. Namun, kekuasaan yang ditampilkan dalam hukum ini diperlihatkan lebih “manusiawi” karena ditampilkan berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan sebagaimana mestinya menurut aturan perundang-undangan.

Foucault menyebutkannya sebagai penundukkan tubuh, yang tidak bersifat langsung dan fisik tetapi dengan wacana dan mekanisme berupa prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya. Mekanisme hukum lalu pemenjaraan dilakukan untuk mengoreksi perlawanan dengan semata-mata mengkategorikan para petani dan aktivis-lah penjahatnya. Alih-alih menggunakan hukum untuk mengoreksi perlawanan yang dilakukan, prosedur penangkapan yang disertai intimidasi dan penangkapan itu sendiri menghasilkan kontrol dan kendali terhadap masyarakat. Terlihat jelas bahwa penangkapan para petani ini bukan saja menjadi teror dalam masyarakat yang menghasilkan ketakutan, namun juga praktis melumpuhkan aktivitas masyarakat. Selanjutnya menciptakan kondisi yang ideal dalam rancangan kekuasaan, dimana masyarakat terkontrol, patuh, disiplin sehingga mengurangi bahkan mungkin meniadakan perlawanan. Dalam hal inilah disiplin tubuh, pendisiplinan berlangsung secara modern, yakni melalui hukum.

Para aktivis menyebutnya perlakuan diskriminatif terhadap hukum. Kenyataan bahwa aksi spontan massa ditanggapi sangat serius bahkan terkesan berlebihan oleh aparat keamanan di Banggai, bahkan oleh Polda Sulteng berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa Murad Husain, pemilik perusahaan kelapa sawit yang diprotes oleh masyarakat telah sebulan yang lalu dinyatakan sebagai tersangka. Murad Husain dinyatakan sebagai tersangka karena perusahaan yang selama ini beroperasi tidak memiliki ijin perusahaan. Kasus besar ini hingga sekarang tidak kunjung diselesaikan. Sebaliknya perusahaan yang tidak memiliki ijin ini dibela dan dilindungi kepentingannya.Pertanyaan tentang apakah ada hubungan antara status tersangka Murad Husain dengan keseriusan aparat polisi menangani kasus protes petani dan kepentingan penguasaan, perluasan perkebunan kelapa sawit bersamaan dengan politik lokal di daerah yang dengan malu-malu mendukung penguasaan sumber daya alam (misalnya dengan ketiadaan sikap yang tegas oleh anggota DPRD dan pemerintah daerah) masih akan menjadi bahasan yang lain. Namun ini membuktikan bahwa suatu kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran sehingga dengan demikian kekuasaan dimapankan, disusun dan diwujudkan.

Karena itu, diskusi perampasan tanah di negeri yang kaya ini, yang didukung oleh aparatus negara diarahkan pada tiga hal. Pertama, penggunaan aparatus negara yakni aparat keamanan dalam sistem kapitalis difungsikan untuk menstimulasi kekerasan yang dilanjutkan dengan menjaga investasi dengan alasan keamanan dan kepentingan umum (Sangaji, 2010). Sementara itu aparat hukum menggunakan kekuasaannya untuk memproduksi, mengarahkan obyek masalah sesuai kepentingan kapitalis. Ini berkaitan dengan hal kedua, dimana gerakan perlawanan terhadap perampasan tanah tidak saja pada aras teoritis makro, tapi juga dipersiapkan pada reaksi “tritunggal”, yakni yang berduit, didukung oleh kekuasaan formal, serta dibeking oleh bedil dan peluru (Adijontro, 2003). Perselingkuhan modal, birokrat dan militer adalah realitas yang akan dihadapi dalam gerakan perlawanan apalagi jika terjadi di daerah terpencil seperti Banggai, dimana media massa bisa saja terbeli dan wacana alternatif masyarakat dipinggirkan bahkan tenggelam sementara aktivis setiap saat menghadapi teror yang mengancam jiwa.

Ketiga, karena itu diskusi tentang gerakan perlawanan dalam sistem yang kapitalis ini bukan lagi sebuah gerakan yang terbagi-bagi berdasarkan isunya. Gerakan lingkungan tidak hanya menyoroti dampak proyek-proyek raksasa terhadap lingkungan, namun juga merupakan gerakan anti korupsi dan nepotisme, bagian dari gerakan anti neoliberalisme, yang juga menyoroti perselingkuhan modal, birokrat dan militer, disamping gerakan yang mengembangkan bentuk pengelolaan sumber daya alam alternatif, perjuangan atas hak ulayat dan sebagainya.

Kembali pada penangkapan aktivis dan petani di Banggai (dan di banyak wilayah di Indonesia ini), teror massa dan upaya mendisiplinkan masyarakat dalam seperangkat aturan hukum yang tidak saja meminggirkan hak mereka, berupaya mematahkan perlawanan, jelaslah merupakan sebuah upaya sistematis negara dan (dalam atau bersama) investor untuk mendaulati kekayaan sumber daya alam.

penulis adalah Peneliti dan penulis isu-isu konflik kekerasan dan konflik sumber daya alam.

(diterbitkan Media Silo,bisa diakses di www.ymp.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar