Pasca Pilkada Poso: Imagining Poso

 Friday, June 11, 2010 at 11:17am

Oleh: Lian Gogali

Kalian bisa lihat sendiri, Poso ini aman karena saya, keamanan bisa tercipta karena saya. Tanah runtuh itu bisa diobrak-abrik karena saya...... apa gunanya punya uang banyak kalau kamu orang tidak bisa ke kebun dengan rasa aman?apa gunanya punya uang banyak kalau kamu orang tidak bisa kesana kemari dengan nyaman?.....

“Kalau saya tidak lagi memimpin poso, kamu siap-siap lagi (ba)bungkus”

****
Kutipan pertama di atas adalah penggalan kalimat yang diungkapkan berulang-ulang dalam kampanye pasangan Piet – Samsuri. Kutipan terakhir disampaikan di Desa Silanca, salah satu desa yang kepala desanya dicopot oleh Piet Ingkiriwang tanpa alasan yang jelas. Pasangan ini dipastikan memenangkan hasil Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Poso 2010-2015. Hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum Poso menetapkan Piet Inkiriwang dan Ir. Samsuri sebagai pasangan dengan perolehan suara tertinggi yaitu mencapai 45.119 suara (38,76%). Perolehan suara lainnya, pasangan nomor urut 2, Sony Tandra dan H. Muljadi dengan 30.712 suara (26,38%), pasangan nomor urut 3 Frans Wangu Sowolino dan Burhanuddin Andi Masse dengan 21.579 suara (18,54%), serta pasangan nomor urut 1 Hendrik Gary Lyanto dan Abdul Muthalib Rimi dengan perolehan 18.992 suara (16,32%).

Tulisan ini tidak hendak membahas latarbelakang politik yang memenangkan pasangan Piet dan Samsuri. Tulisan ini dalam keterbatasannya (karena membahas politik bahasa tersebut di atas membutuhkan ruang yang luas) dengan mempertimbangkan kemenangan pasangan ini, mencatat imagining Poso, pasca hasil Pilkada.

Aman, sebuah teror

Dalam konteks masyarakat pasca konflik Poso, kata “aman” adalah kata ampuh yang mampu mengakomodir kebutuhan semua lapisan masyarakat. Mendengar kata ini semua orang hampir serentak seolah-olah memiliki deskripsi yang sama tentang unit kata tersebut yakni tidak adanya konflik, tidak adanya kerusuhan, tidak ada bom, tidak ada lagi penembakan dan pembunuhan misterius, semua orang dapat beraktivitas ke kebun, sekolah atau kantor. Tidak lagi menjadi penting apakah aman berarti damai, apakah aman berarti juga ada keadilan, kesejahteraan. Kata ini seolah menjadi kata magis bagi masyarakat yang trauma dengan kata sebaliknya; konflik. Masyarakat diseret, dipaksa, diarahkan untuk memiliki makna yang sama seperti yang ditentukan oleh penguasa (baca:Piet).

Penggunaan kata ini menjadi relevan, bukan karena kebenarannya namun karena konteks yang dibicarakannya. Pertama, dibicarakan dalam konteks masyarakat pasca konflik yang jelas lelah, enggan berada dalam situasi konflik, bahkan jika sekedar membicarakannya. Konteks ini membawa alur hidup masyarakat digiring pada kebutuhan yang penting aman, terserah saja politik kalian di atas sana yang penting aman. Lalu, masyarakat diyakinkan bahkan setelah konflik kekerasan telah berakhir, aman adalah kebutuhan mereka, hanya aman, bukan peningkatan ekonomi, apalagi mendapatkan keadilan dan mencapai kesejahteraan. Perdamaian bahkan menjadi seolah-olah dibungkus dalam kata “aman”.

Kedua, kata aman tidak saja secara efektif menjadi kata yang membuat masyarakat terdiam, tak mampu menandingi kata itu, mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju pada kata yang kemudian menyertainya, tetapi diam-diam pada saat yang bersamaan menyusup, menelisik, menjadi kata yang meneror. Alih-alih menjadi kata yang menjamin kebutuhan kondisi pasca konflik, kata ini menjadi senjata untuk menakut-nakuti masyarakat. Jika masyarakat tidak memperhitungkan rasa aman sebagai hal penting yang paling mendasari aktivitas mereka maka mereka terancam kehilangan jaminan kehidupan “normal” sekarang, bahkan bukan tidak mungkin kehilangan kehidupan.

Ketiga, konflik kekerasan sepanjang 12 tahun di-retrive-(dipanggil kembali) dengan vulgar cenderung kasar dengan menempatkan pengalaman mengungsi, lari di hutan dan perbukitan (kata babungkus). Bertolakbelakang dengan usaha-usaha perdamaian yang dikembangkan oleh aktivis perdamaian maupun yang diusahakan masyarakat, trauma dan rasa curiga dijaga, dipelihara bahkan dihembuskan kembali untuk memperingatkan masyarakat. Pengalaman konflik yang bahkan tidak dirasakan langsung oleh pembicaranya, digunakan, dimanfaatkan untuk menegaskan kepentingan rasa aman masyarakat.

Lalu, Piet dan Samsuri selanjutnya menunjukkan bagaimana menempatkan dirinya sebagai yang paling berjasa bahkan terkesan kuat satu-satunya yang berjasa dalam menciptakan keamanan di wilayah pasca konflik kekerasan.

Pada akhirnya, bahasa menjadi sistem penanda yang mendefinisikan realitas. Bahasa membentuk, menentukan makna dan mengontrolnya. Dalam bahasan inilah hasil Pilkada Poso menjadi penting. Dengan kata lain, Pilkada Poso tidak berhenti ketika KPU mengumumkan hasilnya, malah baru akan dimulai.

Imagining Poso

Ben Anderson ketika memilih kata imagining, memberikan makna yang khusus yang hampir tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. imaginingImagining tidak dapat diartikan imajinasi, juga bukan membayang-bayangkan sesuatu. Ini merupakan konsep tentang sesuatu yang riil, yang berarti seseorang secara sungguh-sungguh berlaku dan bertindak, dan bukan seolah-olah, dan menempatkan dirinya di dalam atau ke dalam posisi itu (Dakidae,2003). Ketika Piet Ingkiriwang ber-imagine bahwa dia berada dalam posisi the privileged few yang berkuasa maka itulah yang dimaksudkannya sehingga dengan penuh otoritas mengatakan yang paling berjasa, satu-satunya yang berjasa, yang berkuasa menentukan aman tidaknya wilayah ini. Dengan kata lain, dalam diskursus kekuasaan, bahasa menjadi penting. Bahasa mengatur strategi, taktir dan bahasa mengatur perlawanan. Selanjutnya bahasa menentukan menang atau kalah, bahasa menentukan apa akibat menang dan kalah

Jika kemenangan Piet dan Samsuri banyak dipengaruhi pada bahasa sebagai inti permainan dimana kata aman menjadi kuncinya maka kebijakan, aturan, di wilayah Poso ke depan bisa jadi berada dalam lingkaran tersebut. Dengan demikian, wacana tentang “aman” atau “keamanan” ini menghegemoni dan mempengaruhi pilihan tindakan, aktivitas masyarakat. Pertama, atas nama keamanan, kebijakan tentang keberadaan aparat keamanan di hampir seluruh wilayah di Kabupaten Poso tidak saja menjadi sah dengan alasan pengamanan tetapi juga dianggap menjadi penting untuk mencegah hal-hal konflik. Ini berarti keberadaan instalasi militer, TNI dan Polri, tidak terbantahkan fungsinya. Masyarakat dibiarkan untuk berpikir dan merasa bahwa keamanan ditandai dengan keberadaan pasukan.

Kedua, masih berkaitan dengan hal pertama, demi rasa keamanan daya kritis masyarakat tidak saja dihambat tapi juga dilumpuhkan. Kenyataan bahwa setiap kali aksi yang menentang kebijakan pemerintah, atau aksi yang memprotes keberadaan perusahaan, selalu dijawab dengan mendatangkan aparat keamanan disertai dengan pengarahan mengenai pentingnya menjaga keamanan untuk kenyamanan bersama, lalu mengingatkan kembali trauma masyarakat atas konflik kekerasan. Ketakutan masyarakat dipelihara dan dijadikan alat untuk membungkam gerakan.

Ketiga, bagian akhir dari episode permainan bahasa ini adalah eksploitasi sumber daya alam berjalan leluasa. Ketika aman yang dimaksud oleh penguasa telah menguasai kesadaran masyarakat, maka penguasaan sumber daya alam berjalan di depan mata dengan alasan bagian dari upaya meningkatkan ekonomi masyarakat. Keberadaan PT.Bukaka, hanyalah contoh yang pernah ada dan akan disusul dengan yang lain.

Demikianlah, perselingkuhan militer, birokrat dan investor dilegalkan dalam dominasi wacana tentang masyarakat pasca konflik atas nama aman, keamanan. Dengan kata lain, alih-alih membutuhkan kondisi aman untuk dapat menanamkan modalnya dan mengeksploitasi sumber daya alam, rasa tidak aman dipelihara, lalu perdamaian tidak diharapkan. Kata aman dimain-mainkan untuk kepentingan perselingkuhan ini. Pada gilirannya, kebijakan tentang kehidupan masyarakat Poso pasca konflik diatur dalam lingkaran dominasi wacana yang menempatkan masyarakat berjuang diakar rumput untuk rasa nyaman dan perdamaian yang mereka impikan sementara disatu pihak mereka diserbu himpitan kebutuhan ekonomi, penyingkiran dari hak atas hidup dan alam.

****

Namun, dalam banyak hal tidak pernah hanya ada dominasi, selalu adalah pertarungan antara dominasi dan resistensi. Gerakan rakyat pasca konflik harus mampu merebut ruang pertarungan wacana politisasi ingatan, sehingga memampukan rakyat memiliki resistensi terhadap dominasi wacana tentang keamanan, aman. Tidak hanya keamanan dan rasa aman, kata perdamaian harus menemukan bentuk lain sebagai bagian dari perlawanan terhadap hegemoni bahasa ini. Perdamaian tidak lagi menjadi ruang-ruang elitis para aktivis, sehingga narasi akar rumput tentang perdamaian yang mereka upayakan, tentang curiga yang mereka urai melalui pertemuan-pertemuan informal di ruang-ruang publik (pasar, kantor, sekolah dan sebagainya) harus terus menerus dikampanyekan. Bukan saja sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi besar tentang kondisi Poso pasca konflik, tapi menjadi bagian dari upaya rekonsiliasi akar rumput. Dan, kita bisa bicara soal kesejahteraan dan keadilan, perjuangan untuk merebut hak (bagian 3 tulisan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar