PILKADA Poso:Menggugat Hegemoni,Mendekonstruksi Konflik


Tiga tahun sebelumnya, berkumpulnya massa disatu titik akan menjadi persoalan serius keamanan. Ratusan petugas kepolisian, TNI, akan disiagakan, persenjataan disiapkan, jalanan akan lengang, suasana kota akan sepi. Bahkan, meskipun massa tidak berkumpul namun isu berkumpulnya massa tertentu hingga isu pengerahan massa dari Poso ke Tentena atau Tentena ke Poso tidak hanya menjadi ancaman serius bagi keamanan namun merembet, menembus, mengaktivasi ingatan seluruh masyarakat tentang peristiwa negatif pada sejak tahun 1998 hingga 2008 dengan berbagai pola-pola kekerasan. Pada saat itu, dua kota utama di Kabupaten Poso, Poso dan Tentena, menjadi “lingkaran” perlindungan identitas, wilayah “kami” dan wilayah “mereka”. Poso sebagai “wilayah muslim”, Tentena sebagai “wilayah Kristen”

Dua minggu masa kampanye PILKADA Poso yang ditetapkan oleh KPU Poso, yakni sejak tanggal 17 – 29 Mei 2010, masyarakat Poso dalam aktivitas kampanye membongkar seluruh persepsi, asumsi, hegemoni wacana tentang Poso. Masyarakat dengan beragam caranya menggugat kembali sejarah konflik Poso yang menghegemoni, bahkan dengan elegan melewati batas korban dan pelaku yang digariskan oleh kekuasaan. Selanjutnya, tiga hal ini yang terjadi: “melewati” identitas agama dan suku; menempatkan dengan benar Pilkada sebagai “pesta” rakyat; melakukan “confronting the past” atau menempatkan konflik Poso pada tempatnya.


Identitas:


Pilkada Poso tahun ini menghadirkan empat pasangan calon, yakni Piet Ingkiriwang dan T.Samsuri; Frans Sowolino dan Burhanuddin Andi Masse; Hendrik Gary Lyanto dan Abdul Muthalib Rimi; Sony Tandra dan Muliadi. Seluruh calon bupati beragama Kristen, sementara seluruh calon wakil beragama Islam. Baik Piet Ingkiriwang, Hendrik Gary Lyanto dan Sony Tandra bersuku Pamona campuran Tionghoa, hanya Frans Sowolino yang bersuku Pamona.

Pada periode Pilkada sebelumnya, isu agama menjadi catatan penting bagi masyarakat pemilih. Hal ini terlihat dari partai pendukung kandidat khususnya yang bersimbolkan agama tertentu dan dari besarnya suara pemilih diwilayah-wilayah tertentu yang agamanya mayoritas sesuai dengan kandidat. Pada masa sebelumnya juga, isu agama menjadi salah satu isu sensitif dalam kampanye. Dalam hal ini lingkaran identitas keagamaan masyarakat dijaga, dipertahankan, diangkat oleh masing-masing kandidat. Fenomena tersebut tidak lagi ditemukan dalam Pilkada 2010. Isu agama masing-masing kandidat tidak hanya tidak penting tetapi tidak dibicarakan, baik di wilayah publik maupun dalam wilayah rumah tangga keluarga. Bahkan ketika salah satu kandidat membawa isu kesukuan, hal tersebut juga kurang membawa hasil yang maksimal. Masyarakat pemilih telah belajar bahwa siapapun beragama apapun tidak menjamin kehidupan menjadi lebih baik (baca:lebih aman). Perhatian ditujukan pada latarbelakang kehidupan, track record masing-masing kandidat dan visi misi yang disampaikan. Tidak heran, jika pada periode Pilkada sebelumnya, masyarakat sudah menentukan pilihannya bahkan sebelum masa kampanye berakhir hanya dengan melihat identitas agamanya, Pilkada tahun ini akan banyak ditemukan pernyataan pemilih “lihat saja siapa yang paling bagus visi, misi dan programnya untuk Poso kedepan”.

Masyarakat pemilih membalikkan identitas suku dan agama ke dalam identitas lainnya, yakni pekerjaan, pendidikan, hingga program-program yang ditawarkan. Kandidat Bupati Hendrik Gary Lyanto yang adalah pengusaha properti dari Jakarta, merupakan wajah baru dalam dunia politik di Kabupaten Poso, dan baru muncul pada empat bulan terakhir menjelang Pilkada.Kandidat Bupati Sony Tandra adalah pengusaha kontraktor sekaligus anggota DPRD Kabupaten Poso. Sementara itu kandidat bupati Piet Ingkiriwang adalah kandidat incumbent, memiliki latarbelakang sebagai Kapolres Bitung. Kandidat Bupati Frans Sowolino adalah anggota DPRD dan akademisi, dosen di Universitas Kristen Tentena.

Latarbelakang pekerjaan dan pendidikan masing-masing kandidat ini mempengaruhi vivi misi dan isu utama selama kampanye. Hendrik Gary Lyanto mengangkat isu masyarakat Poso yang modern, salah satu contoh yang diangkat adalah pembangunan mall. Sony Tandra mengangkat isu akses yang terbuka terhadap pembangunan poso dengan terjaminnya sarana dan prasarana, salah satu contoh yang diangkat adalah listrik menyala duapuluh empat jam. Sementara itu Piet Ingkiriwang masih tetap mempertahankan isu keamanan, dengan mendengung-dengungkan keamanan yang berhasil dicapai selama masa pemerintahannya. Frans Sowolino mengangkat isu pendidikan berbasis digital, dan membuat dewan rakyat untuk menjembatani legislatif, eksekutif dan GO. Berbagai isu tersebut di atas lepas dari pembicaraan tentang identitas keagamaan yang dipersepsikan sebagai akar perpecahan dalam masyarakat Poso yang mengakibatkan konflik. Bahkan isu keamanan, tidak lagi diarahkan dalam bingkai antar kelompok masyarakat yang berbeda agama, atau dibicarakan dalam bingkai satu kelompok agama tertentu. Kalaupun dibicarakan, tidak lagi menjadi ancaman tetapi sekedar pembicaraan, saja.

"Pesta"

Bukan hanya isu keamanan ditepiskan oleh ramainya lalu lintas massa kampanye, kotak-kotak identitas menyatu dalam bendera-bendera beragam partai pengusung kampanye. Selanjutnya, PILKADA Poso menjadi “pesta” bagi masyarakat Poso. Menyebutnya “pesta” bagi masyarakat Poso karena dua hal, pertama, aktivitas keseharian masyarakat seakan terhenti, terpusat pada semarak kampanye. Beberapa keluarga berhenti melaut, hari untuk menanam padi diagendakan ulang, perkuliahan berhenti sementara dan sebagainya. Keinginan besar masyarakat untuk mengikuti rangkaian kampanye oleh kandidatnya, mungkin saja karena tergiur oleh sarana dan prasarana yang diberikan baik berupa atribut maupun uang. Namun kenyataan mereka memilih aktivitas yang lain dari aktivitas keseharian yang mereka laksanakan bukanlah hanya karena kemungkinan tersebut di atas. Harapan akan dipimpin oleh pemimpin yang terbaik dan mempengaruhi kehidupan mereka juga menjadi bagian penting pertimbangan keikutsertaan. Jika tidak, maka hal kedua tidak akan terjadi.

Kedua, masa kampanye biasanya terpusat pada kandidat calon bupati. Periode kampanye tahun ini berlangsung sebaliknya, peserta kampanye menjadikan kampanye sebagai ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri dan didengarkan. Alih-alih membiarkan para kandidat menebarkan janji, sebagian besar masyarakat mendesak para kandidat untuk mempertimbangkan apa yang paling diharapkan mereka. Diluar segala pertimbangan tentang efektifitasnya, kontrak-kontrak politik diajukan dan ditandatangani. Sementara itu, tanpa bermaksud menafikan tim sukses resmi dari partai pengusung kandidat, tim sukses bayangan dibentuk dari orang-orang yang dianggap bisa menjembatani kandidat dan massa pendukungnya. Janji-janji yang diungkapkan tidak lagi hanya sekedar diutarakan tapi harus diberikan alasan-alasan tepatnya karena jika tidak, akan dipertanyakan. Maka, ungkapan-ungkapan “itu janji atau janjii (dalam bahasa Pamona berarti bohong)”, atau “yang menentukan Poso ke depan bukan bupatinya siapa, tapi kita yang memilih bupati” sering keluar dari mulut para calon pemilih. Karena itu, alih-alih mendapatkan kaos, uang transportasi, makanan bungkus, dan ikut berdendang, berjoget selama kampanye hingga dero (tarian khas Poso) sebagai bagian dari strategi kampanye para tim sukses, masyarakat tidak terlalu serius melihatnya sebagai daya darik utama, sebaliknya menikmati seluruh masa kampanye sebagai masa meriah bersama-sama. Tidak menjadi daya tarik utama bisa terlihat dari sebagian besar massa berada dihampir semua kandidat, termasuk jika tidak menerima sarana dan prasarana alias harus menanggung sendiri biaya makan dan transportasi. Sulit untuk menghitung massa real.

Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana sebagian besar masyarakat melihat, mendengar, menilai, mendiskusikan, mempertimbangkan semua hal untuk kemudian memutuskan. Sebuah proses cerdas yang belajar dari pengalaman masa lalu. Sebuah proses yang membalikkan teori-teori massa pasca konflik, mematahkan strategi-strategi kampanye yang hanya mengandalkan identitas, kelompok tertentu.

“Confronting the past”

Dimana masa lalu dalam seluruh kemeriahan kampanye Pilkada ini?

Salah seorang eks kombatan yang mengklaim memiliki basis massa (muslim) di wilayah Poso bergabung dengan eks kombatan lainnya yang memiliki basis massa (kristen) di wilayah Tentena menjadi satu tim sukses. Ratusan hingga ribuan massa dengan segala atribut, termasuk simbol keagamaan, naik mobil , sepeda motor dan truk dari Poso ke Tentena dan sebaliknya. Ratusan orang yang selama lebih dari sepuluh tahun pasca konflik kekerasan tidak pernah (baca:berani) bepergian ke wilayah Poso atau Tentena, melintasi wilayah tersebut dengan perasaan aman. Tentu banyak perasaan berkecamuk saat melewati wilayah-wilayah konflik kekerasan. Juga, tentu saja banyak ingatan dan trauma yang lahir dari wilayah-wilayah yang mereka singgahi atau tuju. Pulang kampung bersama, begitu komentar salah seorang ibu yang sejak tahun 1999 tidak pernah menginjakkan kaki lagi di kota Poso yang hanya berjarak hanya 50 km dari tempat tinggalnya sekarang. Mengunjungi keluarga lama, sambung seorang ibu lain dari wilayah Poso Kota yang sejak tahun 2002 berjanji tidak akan pernah mengunjungi Tentena.

Pemandangan ini baru ditemui dalam 10 tahun terakhir. Tidak ada kepalan tangan saat berselisih jalan, hanya jari-jari yang menunjuk nomor tertentu. Tidak ada isu serang, menyerang, mengepung, terkepung. Fenomena tersebut secara tegas membicarakan masa lalu dengan cara menggugat hegemoni pengetahuan yang tertulis dalam lembar-lembar laporan penelitian dan tulisan, hegemoni kekuasaan yangditerjemahkan dalam kebijakan pemerintah tentang keamanan yang mendatangkan ribuan pasukan keamanan,termasuk isu terorisme, menggugat hegemoni wacana tentang konflik Poso.

Pertama, ada re-interpretasi tentang masa lalu dengan mengurai konfigurasi kekuasaan yang ada di balik pengawetan ingatan yang hegemonik tentang konflik Poso sebagai konflik agama. Re-interpretasi ini lebih jauh lagi diterjemahkan dengan tenggelamnya identitas agama dan suku sebagai pertimbangan utama pemilih dalam memilih. Tenggelamnya identitas sebagai isu utama (berbanding terbalik dengan isu awal konflik Poso) menunjukkan “kesepakatan” alami (yang diam namun memiliki dampak mendalam) tentang adanya politisasi isu agama dalam konflik kekerasan yang mereka alami. Re-interpretasi dalam prosesnya yang alami dan melahirkan kesepakatan ini pada akhirnya melahirkan pengakuan tentang kepentingan bersama pada kekinian dan masa depan. Pengakuan ini diekspresikan pada bergabungnya masyarakat lintas agama dan suku dalam kerumunan massa kampanye tanpa gesekan dan sentimen tertentu. Bahkan, diluar berbagai kepentingan ekonominya, antar eks kombatan dari kedua kelompok keagamaan bergabung dan memperjuangkan kandidatnya. Pengakuan ini membawa diri dan komunitas pada titik diam sejenak, menyimak ulang, memaknai masa lalu sebagai sesama manusia. Meminjam konsep Derrida tentang penundaan (Difference), pada titik ini differance ditampakkan bersifat pragmatis-empiris dan merupakan strategi pemaknaan, walau tanpa ujung; bersifat genetis (turunan), mengatasi kerangka waktu, tidak bersifat masa kini dan masa lalu, dan tidak pula bersifat masa depan; bermakna terbuka, tanpa akhir dan ujung, dan bebas dari pengertian biasa.

Kedua, penundaan makna pada konsep-konsep yang hegemonik bahkan yang berkembang kini pada gilirannya melakukan dekonstruksi masa lalu (baca:konflik). Dekonstruksi ini tidak lagi sekedar dalam ingatan-ingatan masyarakat yang terpinggirkan tetapi dalam aksi bersama massa yang membaur dalam aktivitas kampanye. Alih-alih meletakkan masa kampanye sebagai bagian dari ritual politik dalam Pilkada, masyarakat Poso menempatkannya sebagai bagian penting proses re-interpretasi yang menjadikan mereka melintasi batas identitas hingga akhirnya melakukan dekonstruksi konflik Poso.

Ketiga, dekonstruksi konflik Poso memiliki ruang kritik tidak saja terhadap hegemoni wacana tentang konflik Poso sebagai konflik agama tetapi juga membuka kembali ruang pembicaraan wacana alternatif tentang kepentingan ekonomi politik konflik Poso. Pasca konflik, masyarakat Poso dihadapkan pada kenyataan bahwa di negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini sedang dikepung dengan masuknya investor yang tidak saja meminggirkan rakyat, namun juga menyingkirkan kedaulatan rakyat atas tanah dan seringkali memanipulasi hak rakyat atas nama kesejahteraan dalam pemahaman yang kerdil. Oleh karena itu dekonstruksi konflik Poso melewati persoalan identitas pada persoalan kehidupan bersama, sebagai rakyat yang memiliki hak hidup atas tanah. Melawan bersama terhadap kooptasi kekuasaan, investor dan militer menjadi mungkin (bagian 2 tulisan ini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar