Aksi Spontan Rakyat Menuntut Hak Vs Reaksi Sistematik Aparat Keamanan: Catatan terhadap Fenomena Sosial Pemadaman Lampu di Tentena

“kami hanya menuntut hak kami atas kewajiban negara” ungkapan ini muncul dari masyarakat dalam diskusi terkait fenomena penangkapan pasca aksi spontan masyarakat yang berakibat pada rusaknya kantor PLN ranting Tentena. Tetapi Negara melalui apparatus pemerintahannya didukung penuh oleh aparat keamanan rupanya memandang lain aksi spontan itu sebagai semata-mata pelanggaran hukum atau kriminal murni. Parahnya, reaksi atas cara pandang yang demikian mengakibatkan perilaku represif dalam masyarakat. Tulisan ini hendak mengkritisi reaksi dan penanganan atas aksi spontan masyarakat yang menjadi korban pemadaman lampu di Tentena dan upaya kritis masyarakat atas pemadaman lampu.

Kemarahan rakyat dalam bentuk demonstrasi, hingga adanya aktivitas spontan yang mengakibatkan rusaknya kantor PLN seperti yang terjadi di Tentena, Sulawesi Tengah adalah bentuk akumulasi ketidakpuasan pelayanan Negara terhadap rakyat. Disebut sebagai akumulasi karena tidak adanya ruang dialog, dan komunikasi yang dilakukan oleh pihak PLN terhadap pemadaman listrik ditengah masa raya Natal yang notabene membutuhkan listrik. Apalagi pengalaman bahwa kehadiran pejabat pemerintahan dan atau kepentingan politik di wilayah ini seringkali diakomodir dengan ketersediaan listrik sehari penuh. Disebut sebagai akumulasi karena pengrusakan yang dilakukan tidak terorganisir melainkan bentuk reaksi spontan.

Bukannya melakukan pembenahan terhadap manajemen PLN termasuk membenahi peralatan listrik yang rusak, protes masyarakat dihadapi dengan kekuatan aparat keamanan lengkap, melakukan penangkapan dan mengintimidasi masyarakat melalui proses pemanggilan. Aparat keamanan dihadirkan baik saat pengrusakan terjadi maupun pasca pengrusakan. Menyadari kelalaiannya dalam mengkomunikasikan pemadaman listrik, sehari setelah pengrusakan, pihak PLN berkeliling menyampaikan pengumuman kepada masyarakat dengan dikawal polisi dan tentara. Perbedaan maksud kehadiran aparat keamanan ini bisa dikategorikan dalam dua hal. Pertama, pada saat pengrusakan terjadi aparat keamanan cenderung membiarkan massa bahkan bertugas sebagai pengatur lalu lintas. Tidak ada usaha pencegahan ataupun pengamanan wilayah yang dirusak menjadi terkendali dari amuk massa. Sementara itu, pasca pengrusakan kantor PLN, aparat keamanan menampilkan sosok sebagai penegak hukum yang menindak pelanggaran hukum. Dengan kata lain, keterlibatan aparat keamanan pasca pengrusakan membalikkan posisi rakyat sebagai oknum kriminal murni disertai tekanan psikologis terhadap masyarakat.

Keterlibatan aparat keamanan dan tindakannya yang represif pasca pengrusakan kantor PLN menunjukkan tiga hal. Pertama, bertujuan untuk membelokkan isu protes yang diusung masyarakat, yakni pemenuhan listrik, menjadi isu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Dampak dari pembelokan isu ini adalah menumpulkan, melumpuhkan kesadaran kritis masyarakat atas kewajiban Negara terhadap hak rakyat, menjadikannya sebagai permakluman atas nama ketidakmampuan daya atau peralatan yang rusak. Akibat lanjutannya adalah terjadi polarisasi dalam masyarakat terkait kasus pengrusakan sebagai bentuk protes, yakni masyarakat yang semata-mata mengutuk pelaku pengrusakan sebagai kriminal murni meskipun mereka sendiri memiliki protes yang sama. Disatu pihak terdapat masyarakat yang mendukung upaya protes yang dilakukan meskipun tidak menduga terjadinya akumulasi aksi yakni pengrusakan.

Kedua, menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakdewasaan apparatus pemerintahan dalam menyikapi protes dan tuntutan masyarakat. Ketidakmampuan dan ketidakdewasaan ini ditunjukkan dengan cara menakut-nakuti setiap bentuk protes dan aksi yang dilakukan masyarakat dengan menghadirkan aparat keamanan bersenjata lengkap termasuk masyarakat sipil bergaya militer. Pemanggilan saksi dalam kasus pengrusakan yang intimidatif diikuti dengan membuang isu akan terjadi penangkapan besar-besaran termasuk merobohkan posko Aliansi Masyarakat Korban Pemadaman Listrik tidak saja represif tetapi juga menunjukkan watak hukum yang militeristik.

Ketiga, terjadi upaya yang sistematis dari apparatus pemerintahan bersama dengan aparat keamanan untuk menghalang-halangi keterlibatan masyarakat dalam mengawal, mengawasi, mengontrol penanganan kasus pengrusakan kantor PLN sekaligus melumpuhkan kekritisan masyarakat dalam pengelolaan listrik di daerah. Posko Aliansi Masyarakat Korban Pemadaman Lampu yang dibangun di depan Polsek Tentena bertujuan untuk menyoroti penyebab terjadinya peristiwa spontanitas warga yang berakibat rusaknya fasilitas kantor PLN ranting Tentena dan menjadi ruang alternative yang bersifat informative dalam proses penyidikan kasus.

Tanpa menafikan proses hukum yang terus berlaku terkait pelaku aksi spontan yang berakibat pada pengrusakan kantor PLN, perilaku apparatus pemerintahan bersama aparat keamanan tidak dapat dibenarkan, sebaliknya harus di lawan dan dihentikan. Dalam masyarakat yang kapitalistik, korban utama dan berlapis adalah masyarakat marginal. Apparatus pemerintahan dan aparat keamanan yang diasumsikan bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat (baca:terutama yang marginal) tidaklah pantas sebaliknya amat memalukan melakukan tindakan represif dan arogan dengan melibatkan seluruh kekuatan mereka untuk menghancurkan, melumpuhkan kekuatan sosial masyarakat.

Karena, negara berkewajiban memenuhi hak sosial dan ekonomi rakyat Indonesia, termasuk pemenuhan penyediaan listrik. Jika negara tak mampu memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya, maka rakyat berhak untuk menuntut. Dengan kata lain, kelalaian Negara dalam persoalan listrik ini bisa didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum sehingga bisa diajukan ke pengadilan umum. Tetapi rupanya realitas hukum di Indonesia berbalik arah menyerang upaya rakyat mendapatkan haknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar