Satu Tower, Seribu Siasat Pecah: Politik Bungkam Rakyat Peura

“Kami ini orang bodoh, bilang saja begitu.Kami ini memang cuma lulus SD,masih untung kalo ada yang SMP.Tapi karena itu pula kami ini tidak punya kepentingan politik atau mau jadi ini,mau dapat itu. Kami ini cuma mau hidup kami,anak cucu kami ke depan aman dan sejahtera.(Bapak J, Warga Peura)
“Kemarin saya belum jadi lapor itu warga Peura ke Polisi, tapi hari ini saya mo jadi lapor karena warga so (sudah) bikin perbuatan tidak menyenangkan ”(Bapak RT, Sub-kontraktor)
“Selesaikan masalah Peura tanpa konflik”(Jusuf Kalla dalam kunjungan ke PLTA Sulewana)



Saat itu hujan. Sangat deras. Udara dingin dari arah perbukitan dan danau menusuk masuk menyusup dalam kulit,hingga tulang. Angin berhembus kencang hingga suaranya terdengar marah. Aktivitas warga di desa yang dulunya penuh kehangatan itu langsung berhenti. Sebagian masuk dalam rumah. Sunyi. Hanya beberapa warga di dalam tenda berwarna biru yang nampak masih beraktivitas. Suasana itu dipecahkan oleh bunyi deru mesin mobil dari jauh. Serentak sekian mata di dalam tenda mencari tahu sumbernya sambil bertanya, siapa?Begitu tahu mobil itu adalah mobil pembawa batu ciping yang disewa sub kontraktor, seorang lelaki tua renta bangkit dari dalam tenda. Tanpa kata-kata menerobos hujan, menuju jalan terbuka lalu duduk di tanah. Diam. Matanya memandang ke depan menggambarkan tekad bajanya. Laku lelaki berusia berusia 65 tahun dan dipanggil ngkai di desa ini langsung diikuti sekitar 35 ibu-ibu.Mereka mengikuti Ngkai, duduk dan diam di tanah, di tengah jalan, mata memandang tajam ke arah datangnya mobil. Hujan bertambah deras.
Petir sesekali menyambar. Tanah tempat mereka duduk basah dan becek. Puluhan ibu-ibu rumah tangga ini meskipun sudah menggigil kedinginan tetap bertahan. Mobil tertahan sejenak.Beberapa memeluk kedua lengannya, mencoba menghangatkan diri dengan sia-sia.Mata bertahan awas kalau-kalau mobil bergerak menabrak atau mencari cela jalan lain. Tiba-tiba mesin mobil terdengar kencang, mengancam, para ibu-ibu muda,tua , hingga lanjut usia ini langsung bergerak menantang kearah moncong mobil. Duduk di tanah, siap ditabrak. Hampir tidak ada suara. Diam, rupanya lebih lengkap menggambarkan apa yang hendak mereka katakan: Hentikan pembangunan titik tower di wilayah dekat pemukiman penduduk. Titik!!!




Mobil itu mendekat. Seorang pemuda bertubuh kekar dari arah mobil dan mencoba bernegosiasi. Katanya”mama,tidak usah hujan-hujan, nanti sakit, torang bicara baik-baik”. Seorang nenek mengangkat wajahnya menatap anak muda yang dipanggilnya anak di desa itu dan menjawab dalam bahasa Pamona”oh anakku, kita ini baku saudara, kenapa kau bikin begini sama kampungmu sendiri. tabrak saja kami. Mati sekarang sama saja dengan mati kemudian!”Ibu yang lebih muda menambahkan dengan sedikit gemetar “Tuhan tidak akan mau kami sakit karena hujan, Tuhan tahu apa yang kami bikin ini benar” Tidak ada lagi negosiasi, sudah habis kata-kata. Lihat saja kami. Kira-kira itu yang hendak disampaikan oleh ibu-ibu muda, tua dan beberapa lanjut usia yang duduk di tanah basah, berpakaian tipis tanpa pelindung.Hujan rupanya seperti turut menangisi kampung yang dipertahankan mama-mama ini. Deras sekali.


Hari berikutnya,

Lebih dari 50 orang tua laki-laki dan perempuan berjalan diterik matahari. Matahari mendekati titik 12.00 Waktu Indonesia Tengah. Sesekali tangan kiri mengacung ke depan, sementara tangan kanan memegang tulisan “Jusuf Kalla,tokoh perdamaian tapi perusahaannya menciptakan konflik di desa” atau “hentikan premanisme, kriminalisasi warga Peura” dan lain-lain. Seorang lelaki muda mengambil corong mikropon lalu meneriakkan semangat kedaulatan atas tanah, menuntut dihentikannya semua bentuk premanisme dan kriminalisasi warga. Sementara itu belasan polisi mengawasi aksi damai itu sambil berjaga-jaga di bawah naungan teduh gapura yang di dalamnya tertulis:Kepolisian Sektor Pamona Puselemba, Kami Mengayomi Masyarakat.

Seorang ibu tiba-tiba menjerit histeris. Ada kabar. Sekitar 30 km dari situ, tepatnya di Desa Peura yang sedang mereka perjuangkan nasibnya dalam aksi damai, seorang ibu tua renta sedang memeluk kaki seorang anak muda yang sering mereka panggil sebagai anaknya. Terlihat hampir mencium dan mengelus kaki pemuda berbadan tegap suruhan perusahaan. Pemuda itu, juga adalah saudara sekampung mereka. Airmata berurai tidak berhenti, diiringi isak tangis ibu-ibu lainnya “oh anakku, kenapa kau begini. Bunuh saja kami ini mama-mamamu, daripada kau pasang itu tower” Kata-kata dalam bahasa Pamona melucur begitu saja, mencoba meraih hati pemuda itu untuk sekali kali berpikir tentang kehidupan di desa yang dulunya nyaman. Rupanya, sebuah mobil yang disewa perusahaan untuk membangun tower di wilayah pemukiman warga sedang berusaha menerobos masuk. Pemuda asal desa suruhan perusahaan dipasang didepan berhadapan langsung dengan para mama-mama desanya.

Kali ini panas teriknya matahari, airmata yang terurai, luncuran kata-kata yang buntu seperti menabrak tembok yang dibangun oleh perusahaan terhadap anak saudara mereka. Tangan tua itu melemah, jatuh ke tanah. Pingsan. Derita, rasa sedih ketika suara tidak lagi didengar, harapan tidak lagi diapresiasi, malah sebaliknya dipaksa berhadapan dengan anak saudaranya sendiri.

Sudah hampir seminggu, para petani miskin, laki-laki dan perempuan, baik pemuda,orangtua hingga lanjut usia di Desa Peura memilih cara lain menyampaikan suara mereka. Maklum, pertemuan-pertemuan, dialog-dialog, negosiasi-negosiasi, dengar pendapat, dan cara-cara damai yang mereka tempuh sejak tahun 2006 rupanya tidak lagi dapat menterjemahkan bahasa sederhana mereka. Mereka bergotongroyong membangun satu tenda sederhana berukuran 4 x 6 di dekat wilayah rencana pembangunan tower. Panas, hujan, siang dan malam, bergantian para petani miskin yang rata-rata lulusan SD hingga SMP ini beraktivitas di dalam tenda, berjaga-jaga untuk kehidupan panjang milik mereka. Masak memasak, makan bersama semua dilakukan di tenda sembari berdiskusi, menghangatkan pikiran dengan ide tentang kerukunan dan kehangatan yang dulu pernah ada di desa, juga tentang kedaulatan tanah mereka yang terampas. Sesekali beberapa ibu membawa anaknya dalam ayunan tidur sambil mendongeng tentang desa impian mereka yang damai dan aman. Beberapa menyempatkan bercerita tentang kebun yang belum diolah, padi yang tidak jadi digiling, palawija yang hampir membusuk. Mereka menyatukan diri dalam tekad yang sama dalam kesederhanaan, tulus.

Namun, mata dan hati mereka yang dituju oleh semua aksi di atas rupanya sudah tertutup. Sekian tahun menyuarakan aspirasi, sekian hari menunjukkan kebulatan tekad bahkan dengan cara ekstrim, tidak juga ada tanda-tanda bahwa perusahaan berskala besar, PT Bukaka Hydropower Engineering & Consulting Company, milik Ahmad Kalla, adik dari mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla akan mendengarkan, memenuhi permintaan warga miskin ini. Alasannya? Biaya pemindahan tower di luar pemukiman penduduk tidak logis, tidak masuk akal. Dengan kata lain, biaya pembangunan tower di titik dekat pemukiman penduduk lebih kecil.

Maka, bukannya membuka mata hati mereka untuk duduk bersama, perusahaan melalui oknum-oknumnya (jika tidak ingin dibilang kaki tangan) melancarkan ribuan siasat untuk mematahkan, menjatuhkan hingga membungkam suara rakyat.

Mimpi Listrik Gratis

Di Kabupaten Poso sumber air yang kaya dikelola oleh perusahaan milik Ahmad Kalla, adik Jusuf Kalla, mantan wakil Presiden Republik Indonesia. Perusahaan dengan nama PT Poso Energy ini telah menimbulkan wacana heboh hingga mirip sebuah mimpi tentang listrik gratis. Para mama dan anak-anaknya sendiri yang dipaksa untuk saling berhadapan dalam peristiwa di atas, berawal dari mimpi listrik gratis ini. Besarnya kapasitas yang akan dihasilkan oleh PLTA Sulewana diisukan selain akan diperuntukkan bagi perusahaan industry besar, juga akan membantu penyediaan listrik di wilayah Sulawesi Tengah. Isu ini juga yang disampaikan oleh pemerintah Kabupaten Poso melalui Bappeldada Poso dalam sebuah seminar. Disebutkan bahwa PLTA Sulewana pada akhirnya akan menguntungkan masyarakat Desa Sulewana karena masyarakat akan mendapatkan listrik gratis di tiap-tiap rumah sebesar satu juta watt.

Tidak heran jika mimpi ini disambut luar biasa. Maklum saja, wacana listrik gratis dari PLTA Sulewana bersamaan dengan fenomena seringnya mati lampu di wilayah Kabupaten Poso, atau paling tidak lampu yang hanya menyala sejak pukul 18.00 – 12.00. Apalagi di luar sana, di Republik ini ada pula informasi tentang rencana kenaikan tariff dasar listrik. Siapapun, mengharapkan mimpi ini terwujud. Logikanya sangat sederhana. Jika tariff dasar listrik naik, diikuti naiknya harga bahan hingga tak terjangkau orang miskin yang akhirnya memilih menanti mati kelaparan di negeri agraris, siapa yang tidak mau bermimpi tentang listrik gratis?

Sebelum bermimpi terlalu jauh, baik jika merujuk pada pernyataan Direktut Utama PT Hadji Kalla, pemilik usaha besar ini. PLTA Sulewana nantinya akan diperuntukkan melayani kebutuhan energy listrik di Sulawesi Tengah termasuk kebutuhan energi listrik untuk perusahaan industri besar. Dirut PT Hadji Kalla, Hj Fatimah Kalla bahkan menyebutkan bahwa perusahaan pertambangan PT Inco di Sorowako dan PT Aneka Tambang adalah sebagian perusahaan yang akan mendapatkan energy listrik dari PLTA Sulewana (Fajar,19 Oktober 2005). Memenuhi kebutuhan energy listrik di Sulawesi Tengah, tentu tidak sama dengan mimpi listrik gratis ini. Apalagi jika mengutip George Aditjondro, janji ini adalah hal yang mustahil dilakukan karena setelah membangkitkan 240 MegaWatt, tidak mudah ‘menyunat’ satu Mega Watt untuk masyarakat desa di mana listrik itu dibangkitkan. Diperlukan beberapa lapis transformator untuk menurunkan tegangan tinggi dari PLTA ke 220 Volt untuk keperluan rumah tangga. Meskipun hal itu dapat dilakukan tetapi biayanya sangat tinggi. Mereferensi ucapan pihak manajemen PT Poso Energy tentang pemindahan titik tower di wilayah di luar pemukiman membutuhkan biaya yang tidak logis, tentu listrik gratis ini juga turut mustahil bagi perusahaan. Apalagi, hal ini tidak didukung oleh kebijakan tentang listrik daerah, yang masih dalam draft agenda anggota DPRD sehingga belum dibuktikan keberpihakannya pada masyarakat (jika tidak ingin dibilang nego-nego politik dengan perusahaan). Demikian pula belajar dari pengalaman di desa-desa dimana terdapat PLTA seperti di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Tidak terdapat satu desapun yang mendapat pasokan listrik langsung dari pembangkit-pembangkit listrik berkekuatan ratusan MegaWatt tersebut (Aditjondro, 2005). Karena itu, hal yang paling mungkin dari rencana pembangunan PLTA Sulewana ini adalah didesign hanya untuk kebutuhan industri besar, dimana masyarakat yang digusur tanahnya untuk kepentingan itu hanya dapat melihat gelantungan kabel-kabel listrik besar yang melintasi tanah dan pemukiman mereka. Termasuk mendapatkan akibat dari SUTET.

Siasat Pecah Belah

Para mama, para orangtua yang dipaksa berhadapan dengan saudaranya sendiri, bahkan anaknya sendiri dalam peristiwa di atas hanyalah sebagian dari gunung es operasi siasat pecah belah oleh perusahaan. Di suatu daerah dimana perusahaan akan atau sedang beroperasi, masyarakat akan terbagi menjadi dua golongan besar. Menolak atau menerima. Mereka yang menolak biasanya adalah mereka yang sadar akan dampak negatif yang diakibatkan oleh hadirnya perusahaan. Sementara mereka yang menerima sebagian besar adalah mereka yang mendapatkan untung langsung dari perusahaan. Bukan tanpa sebab kedua golongan ini hadir dalam masyarakat. Kesadaran bahwa persatuan masyarakat akan menyulitkan perusahaan menyebabkan perusahaan dengan sengaja memberikan keuntungan sedikit lebih banyak terhadap pihak-pihak tertentu yang dianggap mempunyai pengaruh di desa (Gogali, 2010).

Jauh sebelum peristiwa hujan deras dan panas terik tersebut di atas, sudah terjadi kerenggangan yang hampir tidak masuk akal terjadi di desa yang seluruh penduduknya bersaudara satu sama lain. Hampir seluruh masyarakat di desa ini dipaksa bermusuhan satu sama lain hingga akhirnya berhadapan satu sama lain. Kerenggangan ini bahkan terjadi dalam sebuah keluarga yang masih mempunyai pertalian saudara satu sama lain, masih memiliki nama marga yang sama. Seorang majelis jemaat yang menolak pembangunan tower mengeluhkan keadaan ini. “Bahkan tegur sapa diantara kami sekarang sangat jarang terjadi. Kalau bertemu di tengah jalan saling membuang muka. Orang jadi jarang masuk gereja karena perasaan tidak enak dan tidak suka satu sama lain”.

Rupanya tidak ada jalan lain bagi perusahaan untuk alternatif pemindahan tower ke wilayah di luar pemukiman seperti yang sebenarnya sudah disosialisasikan oleh perusahaan. Ratusan alternatif itu justru terlihat untuk memecah belah masyarakat. Ironisnya, manajemen perusahaan dalam percakapan dengan penulis menolak dianggap melakukan politik pecah belah dan menunjuk hal itu datang dari inisiatif warga. Ucapan pihak manajemen perusahaan ini kedengaran masuk akal, pertama-tama karena mereka tidak terlibat secara langsung dalam proses pecah belah ini, namun menggunakan siasat-siasat yang pada akhirnya akan menempatkan seluruh identitas kewargaan (tokoh masyarakat, suku) di bagian depan. Entah disadari atau apa yang disadari berbeda, akibat langsungnya sekali lagi mempertajam perselisihan dalam masyarakat

Mengangkat warga desa yang terkemuka menjadi sub-kontraktor perusahaan adalah salah satu strategi untuk memperoleh ijin operasi dan penyelesaian administratif relative lebih cepat, sekaligus menjadi bagian dari politik pecah belah masyarakat.Ironis yang lainnya, sub-kontraktor yang pertama kali diangkat oleh perusahaan adalah kepala desa, disusul para tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Selain itu perusahaan juga diberikan kepada pensiunan polisi atau TNI atau kepada orang yang dianggap sebagai tokoh adat. Pihak yang berpengaruh di desa juga diangkat untuk menekan masyarakat secara psikologis. Yang terbaru adalah penempatan seorang sub kontraktor dari luar Desa Peura namun memiliki keterikatan emosional karena sejarah panjang konflik Poso.

Warga yang menjadi bagian dari perusahaan kemudian menjadi bagian aktif upaya-upaya menggertak, mengancam hingga melakukan kriminalisasi dengan melaporkannya ke phak kepolisian. Tidak sedikit dari warga Peura yang didekati dengan menggertak, mengancam hingga dilaporkan. Pelaporan merujuk pada tiga alasan umum: pencemaran nama baik , mengangkat kasus lama yang seringkali tidak relevan dan perbuatan tidak menyenangkan.

Label setuju dan label menolak menjadi kata kunci yang dengan jelas memetakan masyarakat menurut keberpihakannya pada perusahaan. Padahal mereka yang menolak mengatakan bahwa mereka tidak menolak pembangunan tower tetapi hanya meminta tower dipindahkan di luar pemukiman penduduk. Label setuju dan tidak setuju yang naïf ini disertai dengan penghitungan matematis tentang berapa persen dari masing-masing label tersebut. Dalam hal inilah upaya menghitung biaya tower disamakan dengan menghitung satu nyawa manusia. Perjuangan sekelompok kecil masyarakat dianggap tidak berarti. Satu orang yang melawan dianggap seperti semut yang menggigit raksasa besar. Tidak dihitung.

Tidak kekurangan akal untuk memojokkan, meminggirkan masyarakat miskin yang menolak pembangunan titik tower, para pembela perusahaan mulai mengidentifikasi identitas mereka yang menolak. Identifikasi tersebut kemudian disebarkan dengan menyebutkan sebagian besar mereka yang menolak adalah mereka yang bukan asli warga Peura alias pendatang. Bahkan direncanakan untuk membuat ulang sejarah Desa Peura yang akan memetakan siapa yang asli dan siapa yang bukan. Hasilnya bisa ditebak dan dirancang, mereka yang asli Desa Peura adalah mereka yang mendukung pembangunan tower di titik yang ditetapkan perusahaan, dan sebalinya mereka yang bukan asli Peura-lah yang menolak. Identifikasi dan rencana ini bukan hanya bersikap diskriminatif tapi juga menyederhanakan perlawanan masyarakat dalam lingkaran ras, suku. Ironisnya mereka yang melancarkan isu ini justru tidak tinggal dan tidak bekerja di Peura.

Siasat tersebut di atas dilakukan sembari menerapkan taktik-taktik pembujuk dan perangkul. Strategi ini membuka opini bahwa kehadiran perusahaan adalah untuk mensejahterakan masyarakat, juga sekaligus memecahbelah masyarakat menjadi dua kelompok, antara yang menyetujui dengan yang menolak karena mengalami kerugian yang besar (Gogali, 2006).

Di Desa Peura, perusahaan seperti PT Poso Energy dengan sengaja dipasang sebagai “pahlawan” fasilitas karena memberikan jaminan kesehatan dan pembangunan sekolah tingkat menengah. Janji ini dimulai dengan pemasangan lampu di jalan, diikuti pembangunan selokan. Janji pembangunan ini membalikkan kenyataan bahwa negara berkewajiban memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Pihak perusahaan juga memberikan kesempatan kepada masyarakat di sekitar lokasi pembangunan berskala besar untuk menjadi tenaga kerja. Tenaga kerja tersebut meliputi tenaga kerja buruh bangunan, dan tingkat paling tinggi sebagai satpam atau sekarang yang menjadi trend adalah sub-kontraktor.

Baik janji fasilitas maupun lapangan kerja bagi masyarakat, pada dasarnya merupakan bagian tanggungjawab mendasar perusahaan di wilayah yang akan dieksploitasi. Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. Maka janji fasilitas dan lapangan kerja bagi masyarakat pun tidak layak menjadi hal yang dibesar-besarkan apalagi menempatkan perusahaan sebagai penjamin kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya merupakan tanggungjawab dan kewajiban perusahaan.

Lalu tentu saja hadir bentuk intimidasi cara baru. Kehadiran beberapa orang yang kemudian diidentifikasi sebagai preman menimbulkan keresahan baru dalam masyarakat. Preman yang berasal dari luar Desa Peura ini bukan hanya mewakili bentuk lain intimidasi karena identitas ke-preman-annya namun juga mempertajam trauma, ketakutan yang sebelumnya diciptakan perusahaan. Ironisnya, beberapa diantaranya dengan sengaja menempatkan anak muda selama ini dikenal lahir, besar dan hidup bersama dengan mereka di Desa Peura.

***

...hujan yang semakin deras sore itu menjadi saksi bagaimana para petani miskin ini bertahan dan terus berjuang. Mobil truk pengangkut batu ciping itupun perlahan mundur. Tidak ada sorakan kemenangan. Hanya napas lega. Sementara. Karena, meskipun mereka hanya lulusan SD, hingga SMP, mereka tahu, siasat-siasat perusahaan untuk membangun satu tower itu masih terus berlangsung, dan semakin gencar. Mereka juga sadar, status sosial dan ekonomi mereka yang rendah tidak hanya dipandang sebelah mata tetapi juga menjadi alasan ironis yang menunjukkan mereka tidak layak berjuang. Tapi kesadaran itu membawa mereka pada tekad bersatu. Sekali lagi, untuk kehidupan yang layak mereka punyai.

Di panas terik matahari, badan tua renta seorang ibu yang memeluk kaki anak muda itu terkulai lemah hingga terjatuh. Namun panas terik matahari menjadi saksi kebulatan hati untuk memperjuangkan hidup mereka.Untuk kedaulatan mereka.

(catatan lengkapnya dapat diakses di http://www.perempuanposo.com/index.php/artikel/ekonomipolitik/170-satutowerseributowerpolitikpembungkamanrakyatpeura )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar