Satu Tower dan Seribu Kehidupan Rumah Tangga di Peura

“Sejak Bukaka mau bangun tower di sini, kami tidak lagi hidup tenang.
Bukan cuma karena pikir-pikir itu tower punya dampak SUTET,
tapi yang lebih parah, diantara kami sesama saudara, kakak adik,
sudah saling bermusuhan, saling ancam, tidak saling menyapa,
bahkan saat natal. Kami sepertinya tidak bersaudara lagi”
(ibu Betty, warga Peura)

“kalau masyarakat bilang itu tower di atas harga mati,
perusahaan juga bilang itu tower di bawah harga mati.
Jadi, kalau dua-dua sudah harga mati, siapa sebenarnya yang akan mati?
(Bapak S, staff PT.Poso Energy)


Peura.Kehidupan di desa seluas 52 km persegi dan terdiri dari 1034 jiwa ini sontak berubah. Pasalnya ada pada satu tower, tower 52. Tower 52, milik PT Poso Energy kini menjadi bagian penting yang mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat Desa Peura. Bagi perusahaan, keberadaan satu tower tersebut sangat penting untuk menyambung keberadaan tower lain sehingga dapat mengalirkan listrik hingga ke Sulawesi Selatan. Tanpa satu tower tersebut, seluruh aktivitas perusahaan tidak dapat dilanjutkan. Sementara itu bagi masyarakat Peura, keberadaan satu tower tersebut telah mengubah drastis kehidupan mereka baik kehidupan ekonomi, kehidupan sosial budaya hingga dinamika politik di desa yang dulunya dikenal nyaman, tenang dan penuh kehangatan persaudaraan. Tower tersebut melewati pemukiman warga. Isu dampak SUTET mengawali perdebatan mengenai boleh tidaknya membangun tower di tengah pemukiman. Lalu warga terbagi dalam dua kelompok besar, mereka menolak pembangunan tower di tengah pemukiman, dan mereka yang menerima.


Tulisan ini dalam keterbatasannya bermaksud menggambarkan dampak sosial yang dialami oleh seluruh warga Peura dikarenakan satu tower, milik PT. Poso Energy. Gambaran ini menunjukkan bahwa cerita pembangunan dan kesuksesan perusahaan-perusahaan besar selalu berdiri diatas ribuan hingga jutaan nyawa masyarakat miskin yang dipastikan tidak pernah menerima manfaat dari kehadirannya. Sebaliknya menerima dampaknya secara langsung saat ini dan nantinya.

Taktik Perangkul dan Strategi Tongkat Pemukul


Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dikelola oleh PT.Poso Energy telah merancang pembangunan tower di wilayah desa di Pamona Utara dan Pamona Selatan menuju Sulawesi Selatan. Tercatat akan terdapat 85 titik tower di Kecamatan Pamona Utara dan 78 tower di Kecamatan Pamona Selatan. Khusus di Desa Peura direncanakan pembangunan 21 titik tower. Sebelumnya, pembangunan 19 titik tower tidak mendapat tentangan dari masyarakat. Persetujuan masyarakat ini terutama karena pembangunan 19 titik tower tidak melewati pemukiman.Namun, saat titik tower 51 dan 52 diketahui melewati pemukiman padat penduduk, masyarakat menentang karena dianggap memiliki dampak kesehatan jangka panjang. Apalagi, alasan pemindahan titik tower ke melewati dan atau dekat pemukiman penduduk hanyalah alasan efisiensi biaya pembangunan. Efisiensi biaya pembangunan tower kemudian telah meretakkan tatanan kehidupan masyarakat karena atas nama efisiensi biaya, intimidasi dan ancaman serta teror terjadi hampir setiap hari.

Perjuangan panjang masyarakat yang rata-rata petani dan nelayan serta berpendidikan SD hingga SMP ini dimulai sejak tahun 2006. Berbekal bacaan seadanya, menonton informasi soal dampak SUTET mereka mulai mengadukan nasibnya mulai tingkat desa, kecamatan, ke gereja hingga tingkat DPRD Kabupaten Poso. Berbagai cara diupayakan, mulai dari diskusi-diskusi, dialog-dialog dengan pihak pemerintah dan perusahaan, demonstrasi hingga mengadakan dengar pendapat dengan anggota DPRD Kabupaten Poso. Hanya satu saja keinginan mereka. Bukan uang, bukan kedudukan di perusahaan, bukan pula popularitas, apalagi keinginan untuk membenci saudaranya. Mereka, hanya menginginkan tower tersebut pindah ke wilayah di luar pemukiman. Dasar pemikiran mereka tidak macam-macam. Mereka berpegang pada sosialisasi awal perusahaan di tahun 2005 kepada tokoh-tokoh masyarakat dan aparat pemerintah desa bahwa titik-titik tower di Peura akan berada di sebelah timur Desa Peura, 500 meter dari pemukiman penduduk.

Namun, permintaan sederhana warga ini bukan hanya tidak mendapatkan tanggapan positif dari perusahaan. Sebaliknya, pihak perusahaan mulai menggunakan berbagai cara untuk membujuk, mempengaruhi hingga mengintimidasi, meneror masyarakat untuk tidak melanjutkan tuntutannya. Strategi yang disebut taktik pembujuk atau “perangkul” dan strategi tongkat pemukul diberlakukan (lihat Gogali, 2006).
Taktik pembujuk atau “perangkul” adalah strategi yang dipakai untuk “membujuk” masyarakat agar tidak terlalu memperhitungkan dampak yang akan atau yang telah terjadi. Strategi ini membuka opini bahwa kehadiran perusahaan adalah untuk mensejahterakan masyarakat, juga sekaligus memecahbelah masyarakat menjadi dua kelompok, antara yang menyetujui dengan yang menolak karena mengalami kerugian yang besar, termasuk merangkul pihak-pihak (tokoh masyarakat, tokoh agama, para pihak yang berpengaruh) untuk mematahkan tuntutan masyarakat.

Perusahaan melalui penyebaran isu mengadu-domba masyarakat, menggunakan sebagian warga desa untuk memprovokasi warga desa lainnya sebagai pihak yang melawan pembangunan, selanjutnya menyamakan dan membuang isu bahwa pembangunan tower ini adalah pembangunan milik pemerintah sehingga selayaknyalah didukung oleh masyarakat dan jika melawan akan ditangkap, ditahan, masuk penjara, dimasukkan dalam kategori melawan pemerintah. Sebaliknya disebarkan juga opini mengenai jaminan perusahaan untuk kesejahteraan masyarakat Peura. Bahkan, secara detail ditawarkan oleh PT. Poso Energy melalui staffnya bahwa jika masyarakat menyetujui pembangunan tower di tempat yang sudah ditetapkan oleh perusahaan maka jalan produksi masyarakat akan dibuka, sekolah akan dibangun, puskesmas akan didirikan, jika longsor akan ditanggulangi pemerintah. “Jika perlu, kalau masyarakat sudah setuju, kami akan prioritaskan pembangunan desa dulu baru membangun tower” kata salah satu staff PT. Poso Energy yang selama ini menjadi juru bicara perusahaan.
Selain itu perusahaan menggunakan tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah untuk membujuk atau mengintimidasi masyarakat, baik pemerintah desa, oknum pemerintah kecamatan, pejabat pemerintah Kabupaten hingga anggota DPRD. Kata – kata seperti : “pemerintah itu wakil Tuhan di muka bumi ini, jadi kalau kalian melawan pemerintah, berarti kamu orang melawan Tuhan” merupakan salah satu kata-kata yang dikeluarkan untuk menghentikan perlawanan masyarakat Peura.

Tidak hanya itu, perusahaan bahkan mulai merangkul pihak-pihak yang dianggap sebelumnya memihak masyarakat dengan menjadikan mereka staff perusahaan sehingga berbalik menyusun strategi untuk menghancurkan gerakan masyarakat Peura. Tidak kurang itu, beberapa aktivis yang sebelumnya dikenal aktif menyuarakan kepentingan masyarakat Peura juga menyerah pada godaan perusahaan dan berakhir pada mengundurkan diri menangani kasus Peura. Salah seorang perempuan petani, ibu Bety, yang dikenal memperjuangkan tower di luar pemukiman hingga saat ini masih diminta (baca: dibujuk) oleh PT. Poso Energy untuk dapat diajak ke Jakarta dengan tujuan melihat kondisi masyarakat di bawah tower yang ada di Jawa sembari bernegosiasi atas pembangunan satu tower ini. Dengan tegas, ibu Bety menolak tawaran tersebut.

Lalu, strategi tongkal pemukul adalah strategi ancaman dengan cara menakut-nakuti masyarakat untuk tidak melakukan protes terhadap kebijakan yang ada, juga berhenti melakukan perlawanan. Kunci untuk membuat strategi ini efektif adalah keberadaan aparat keamanan di lokasi di mana kepentingan pemodal ingin diamankan dari kemungkinan “gangguan” (baca: protes) masyarakat setempat.

Hal inipula yang tergambar jelas dari proses-proses perusahaan memuluskan aktivitasnya untuk membangun satu tower. Menghadirkan aparat keamanan bersenjata lengkap dalam pertemuan-pertemuan antara warga dengan perusahaan dengan alasan keamanan oknum perusahaan (termasuk keamanan aparat keamanan); penggalian untuk tower dan pengangkutan batu ciping dengan dikawal oleh TNI dan polisi bersenjata lengkap; Polisi Masyarakat (polmas) yang berkeliaran siang dan malam hari membawa surat-surat kaleng atau surat edaran untuk ditandatangani.

Kehadiran aparat keamanan ini berfungsi ganda, intimidasi dan membalikkan isu keamanan. Intimidasi terlihat dari seragam dan persenjataan lengkap; melalui kata-kata yang dikeluarkan, seperti : saya tembak kau!jangan macam-macam!; serta bahasa tubuh, mata yang melotot, mengawasi masyarakat, juga senjata yang terkokang. Kehadiran aparat keamanan ini juga sekaligus membalikkan isu keamanan dalam masyarakat. Kenyataan masyarakat Peura tidak bersenjata apapun selain tekad baja untuk melindungi diri dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan ironis “kalau perusahaan datang ke Peura untuk pertemuan, siapa yang menjamin keamanan mereka?Kalau ada apa-apa yang terjadi, siapa yang menjamin keselamatan jiwa mereka?” Pertanyaan ini menggiring kesimpulan sederhana yang naif bahwa kehadiran aparat keamanan di Peura berfungsi untuk menghindari kerusuhan, kebrutalan yang mungkin akan dilakukan oleh masyarakat petani dan nelayan ini. Maka, kenyataan bahwa aparat keamanan berfungsi efektif untuk mengintimidasi masyarakat dibalikkan dengan pernyataan bahwa hal tersebut disebabkan oleh masyarakat itu sendiri. Sementara itu masyarakat Peura hanya sanggup berkata sederhana :”tunjukkan pada kami kapan kami menyentuh helai baju satu orangpun dari perusahaan kalau mereka datang kesini? Mereka pulang dari sini sebagaimana mereka datang kesini. Tapi kalau mereka yang datang disini dengan aparat keamanan, bahkan biarpun tidak melakukan apa-apa, masyarakat sudah takut” Seorang ibu yang sudah hampir sebulan tidak ke kebun karena menjaga satu tower itu tidak dibangun, dengan mata berkaca-mata berkata pada oknum TNI dan polisi bersenjata lengkap di depannya “bapak ini TNI dan polisi milik perusahaan?milik pemerintah? Atau milik masyarakat?”

Sementara tawaran dan janji fasilitas bertubi-tubi disampaikan, disertai ancaman dan intimidasi, masyarakat tidak bergeming. Mereka tidak ingin kaya fasilitas, enak hidup. Mereka hanya ingin memindahkan tower ke wilayah di luar pemukiman. Keinginan ini telah ditanggapi perusahaan dengan mengeluarkan seluruh kemampuan dan strategi luar biasa yang pada akhirnya menyerang seluruh sendi kehidupan masyarakat Peura yang sebelumnya dikenal tenang, aman dan hangat dalam persaudaraan. Semuanya dikarenakan satu tower berdiameter kurang dari 700 meter. Satu tower.

Monster Bernama Tower


Sejak subuh, pagi, siang hingga malam, perbincangan dan aktivitas yang berkaitan dengan tower milik PT. Poso Energy telah mempengarui masyarakat. Satu tower telah mengarahkan dan menentukan aktivitas dan kehidupan mereka dengan cara yang luar biasa dan tidak terduga. Anak-anak, remaja, pemuda, orang tua, lansia terseret dalam pusaran diskusi, aktivitas, kebijakan tentang satu tower. Kegiatan ekonomi, aktivitas budaya, relasi sosial, dinamika politik semuanya tergantung pada satu tower.

Puluhan keluarga tidak lagi dapat mengolah sawah dan kebunnya dengan maksimal. Setiap hari, sejak subuh, berjaga-jaga cemas jika bunyi perahu sudah merapat di pelabuhan kecil, yang menandakan datangnya batu ciping (Pertanda tower akan dibangun, pun tanpa persetujuan warga). Mereka merelakan kebun dan sawah mereka tidak terolah dengan baik demi mendatangi diskusi-diskusi, mengikuti dialog-dialog yang berkaitan dengan satu tower tersebut. Demi mendapat keputusan pemindahan tower pula mereka merelakan diri mengumpulkan uang (patungan uang-uang kecil) untuk dapat mengutus perwakilan mereka menemui wakil perusahaan, mengadukan nasib mereka pada anggota Dewan DPRD Poso. Puncaknya, pada tanggal 26 Januari 2011, sejak pagi hari pukul 10.00 WITA, tanpa kesal, penuh kesetiaan demi satu tower yang pindah, mereka meninggalkan aktivitas di rumah, sekolah dan kebun,sawah berkumpul di baruga desa menunggu kedatangan para pimpinan perusahaan yang hingga pukul 16.30 WITA tidak jua menampakkan diri.

Bahkan, meskipun kemudian pihak perwakilan perusahaan mengirimkan surat tanpa cap dan logo resmi perusahaan yang isinya memprotes pertemuan tersebut, para petani dan nelayan ini tetap berkumpul di baruga sambil berdoa agar hati para pimpinan perusahaan bisa menyambut baik niat mereka. Kali ini mereka hanya menginginkan sebuah silahturahmi yang bisa menyatukan kembali perpecahan dan perselisihan antar warga yang saling bersaudara itu hanya karena satu tower. Pernyataan resmi pihak manajemen PT.Poso Energy melalui Bapak Alimuddin dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Poso Study Club tanggal 22 Januari, salah satunya bahwa tower boleh pindah dimana saja asalkan tidak lagi menimbulkan konflik dalam masyarakat Peura, telah melegakan masyarakat. Sayangnya, penantian empat tahun masyarakat Peura dalam persoalan satu tower ini masih melalui jalan panjang untuk menagih pernyataan tersebut.

Sementara itu seluruh aktivitas kebudayaan, termasuk mosintuwu (salah satu kebudayaan Poso yang menekankan solidaritas dan kerjasama antar sesama melintasi batas identitas) tidak lagi menjiwai seluruh pembangunan fisik dan pembangunan psikologi masyarakat. Dalam pesta-pesta panen raya, Padungku, masyarakat terbelah dalam kelompok-kelompok.

Dinamika politik desa juga dipengaruhi oleh pembangunan satu tower ini. Pemilihan Kepala Desa Peura pada tahun 2008, calon kepala desa yang mendapatkan dukungan 318 orang dari 604 pemilih digugurkan dengan alasan tidak jelas. Kebijakan ini disambut boikot warga terhadap Pilkades. Pilkades akhirnya dinyatakan tidak quorum. Ancaman dan intimidasi memaksa masyarakat untuk melakukan Pilkades ulang. Namun dalam persiapan Pilkades ulang, sebelumnya disebarkan isu bahwa barangsiapa yang tidak mau datang memilih akan dibawah ke kantor polisi dan akan diproses hukum. Malam sebelum proses Pilkadesdilaksanakan, mobil patroli kecamatan yang berisi petugas Pol PP berpakaian lengkap berkeliling kampung beberapa kali sambil menyampaikan himbauan untuk ikut memilih pada keesokan harinya dan dinyatakan mereka yang tidak memilih bukan warga yang bertanggung jawab, konsekuensinya adalah proses hukum. Upaya ini memberikan hasil, warga mulai ketakutan dan akhirnya masuk ke bilik suara. Sementara bagi mereka yang tetap melawan, pagi – pagi buta sudah mendayung perahunya menuju Tentena. Hasilnya terpilihlah kepala desa yang selama ini bekerja untuk PT.Poso Energy, yakni mengambil beberapa borongan pekerjaan untuk pembuatan pondasi tower di sekitar wilayah desa. Proses pelantikan dilakukan di kantor kecamatan tanpa dihadiri oleh kepala desa yang lama. Pilkades ini belakangan baru diketahui dari beberapa panitia bahwa PT. Poso Energy memberikan bantuan modal bagi pelaksanaan Pilkades 6 juta rupiah kepada panitia.

Hingga sekarang, lebih dari empat tahun lamanya, masyarakat Peura telah terbagi dalam berbagai kelompok terkait sikap terhadap pembangunan tower. Hal ini berdampak serius dalam relasi kehidupan mereka. Saudara bersaudara, termasuk mereka yang masih berada dalam satu marga/rumpun keluarga saling bermusuhan. Sesama anggota masyarakat saling mengancam, mengata-ngatai. Meskipun tidak ada niat untuk menyebarkan kebencian, namun ketidaknyamanan hubungan antara masyarakat menajam. Beberapa orang memutuskan untuk berpindah-pindah kelompok gereja karena tidak menyukai sikap mereka terhadap tower. Yang lainnya tidak lagi mau mengikuti peribadahan karena alasan ketidaksukaan sikap terhadap tower. Kelompok-kelompok ibadah dalam gereja terpecah-pecah. Kehadiran dalam undangan pesta pernikahan dan upacara pemakaman, termasuk dalam ibadah pun selalu berkelompok berdasarkan sikap terhadap tower. Sapaan dan senyuman menjadi tawar, tidak lagi hangat jika berlainan sikap terhadap tower. Ini bukan lagi soal jumlah, bukan lagi soal berapa orang yang berpihak pembangunan tower di bawah (di tepi pantai) dan berapa orang yang berpihak pembangunan tower di luar pemukiman. Kenyataan bahwa satu tower telah mempengaruhi bagaimana cara bersikap, menentukan aktivitas warga terasa begitu menyedihkan bagi warga desa Peura.

Satu tower dengan caranya yang luar biasa telah mempengaruhi, menelisik masuk pada seluruh sendi kehidupan masyarakat petani, nelayan Desa Peura.

Satu = Seribu

KEKAYAAN udara, air dan tanah adalah sebesar-besarnya untuk kedaulatan rakyat. Setidaknya hal ini menjadi spirit utama pengelolaan sumber daya alam yang tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, jangankan sebesar-besarnya untuk kedaulatan rakyat, fenomena satu tower di Desa Peura menunjukkan proses pengelolaan sumber daya alampun telah dengan sangat luarbiasa langsung dan tidak langsung menyengsarakan rakyat. Perusahaan besar seperti PT. Poso Energy yang nantinya akan mendapatkan keuntungan besar dari pengolahan kekayaan sumber daya alam di Kabupaten Poso, tentunya telah memiliki rancangan keuntungan dari bisnis listrik ini. Karena itu alih-alih menjanjikan fasilitas dan kesejahteraan bagi masyarakat Peura, hal ini tidaklah sebanding dengan keuntungan bisnis yang diperoleh. Maka, satu tower dibandingkan dengan seribu kehidupan masyarakat Peura bukan saja ironis dalam perbandingannya tetapi cenderung tidak memanusiakan. Dan, tentu saja efisiensi biaya pembangunan tower yang menjadi alasan peletakan titik tower di dekat pemukiman penduduk tidak dapat dibandingkan dengan nyawa ribuan warga.

Penolakan bukanlah ditujukan pada pembangunan tower. Penolakan terutama dan hanya ditujukan pada pembangunan tower di dalam dan sekitar wilayah pemukiman. Solusinya, pemindahan tower. Jika untuk hal yang nyata-nyata berkaitan dengan hak hidup masyarakat Peura, taktik dan strategi, ancaman dan intimidasi melalui kaki tangan PT.Poso Energy telah merusak hubungan antar dan dalam masyarakat Peura, maka bukan saja satu tower telah mempengaruhi kehidupan seribu kehidupan masyarakat Peura, satu tower, juga sama dengan mempertaruhkan seluruh kehidupan masyarakat Peura.

Last Updated ( Thursday, 27 January 2011 04:23 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar