Pasca Kolonial?Membincangkan lagi Merdeka itu..(catatan kecil)

Bagaimana mengartikan kemerdekaan setelah Indonesia diproklamasikan merdeka? Perayaan meriah yang terlihat di banyak media massa, simbol, bahasa yang digunakan memperlihatkan kemerdekaan dipahami sebagai terbentuknya negara, terlepasnya dari penjajahan negara lain (baca:Belanda). Memang, dari asal katanya kolonialisme (latin:Colonia=pertanian-pemukiman) berarti penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Bahkan, menilik asal katanya, sesungguhnya kemerdekaan patut diperbincangkan lagi, meskipun jika dilihat dari segi wilayah dan waktu kolonialisme secara harafiah sudah berakhir. Selain itu,teori pascastrukturalis mengingatkan untuk melihat kembali lebih jauh kebelakang. Bahwa, kolonialisme bukanlah satu-satunya sejarah dari masyarakat, sehingga kita bisa sekaligus bertanya juga: apa yang terjadi sebelum pemerintahan kolonial?ideologi-ideologi, sistem hierarki, praktek-praktek kehidupan apa yang sudah ada lalu bertemu dalam proses kolonialisme? Tulisan ini hendak tergoda untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan identitas Indonesia pasca kolonialisme, namun memilih membincangkan bentuk lain kolonialisme pasca kolonial karena kepentingan mendesak untuk membicarakannya.

Kolonialisme yang ditandai aspek penguasaan dan penaklukan menghubungkan pengertian kolonialisme dengan imperialisme. Lenin dan Kautsky (Imperialism, The Highest Stage of Capitalism,1947) menghubungkan makna imperialisme dengan kapitalisme. Imperialisme dipandang sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme. Hal ini terjadi ketika modal berlimpah, sementara sumber alam dan tenaga dalam egeri semakin terbatas. Lalu, modal yang diada dipakai untuk mencari keuntungan di luar negeri. Dalam konteks sekarang imperialisme tidak terjadi secara langsung dalam bentuk penguasaan wilayah negara. Dalam hal inilah imperialisme tidak lagi dipahami sebagai pengambilalihan wilayah dan perampasan sumber material semata. Imperialisme dipahami sebagai sebuah sistem global yang melakukan penetrasi bidang ekonomi, pengendalian pasar, serta tekanan politik negara maju dan kaya terhadap negara-negara miskin, misalnya kontrol “imperialisme Amerika” atas negara-negara di dunia dalam bidang ekonomi, politik dan militer meskipun tidak mempunyai kendali politis secara langsung (Loomba,1998)

Indonesia, pasca 65 tahun yang lalu memproklamasikan kemerdekaan adalah contoh sempurna yang menggambarkan bagaimana sistem imperialisme itu berlangsung. Kebijakan hutang luar negeri yang dipastikan menjadi warisan generasi bergenerasi Indonesia, lahirnya Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, mengubah artikulasi perspektif otonomi pada konteks desentralisasi pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pada akhirnya terjadi kecenderungan adanya fleksibilitas pemerintah daerah untuk membuka ruang bagi investor melalui produk kebijakan yang pro-modal dan berorientasi pertumbuhan ekonomi. Undang-undang tersebut diikuti dengan penetapan kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang berlandaskan Hak Menguasai Negara (HMN), lalu ketentuan-ketentuan sektoral yang menyangkut hutan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990) dan peraturan lainnya terbukti tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang Dasar tetapi juga menjadi legitimasi monopoli penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Demikian pula halnya yang terjadi di Sulawesi Tengah.

Sumberdaya alam diperlakukan sebagai komoditi dan alat produksi, mengabaikan sub-sistem sosio kultural. Akhirnya, penguasaan dan penaklukan tanah-tanah rakyat dalam praktek langsungnya melenggang masuk di negeri yang kaya ini. Wilayah dimanapun yang kaya sumber daya alamnya diserbu investasi yang diijinkan kekuasaan atas nama pembangunan, menggunakan aparat negara yakni aparat negara ideologis (sekolah, media, agama, dan sistem politik) serta aparat negara represif (militer dan polisi) (Althusser). Sehingga setiap hari di negeri yang memproklamirkan kemerdekaan 65 tahun yang lalu, para petani kehilangan tanahnya, orang miskin bertambah, rumah-rumah digusur, kematian karena kelaparan terjadi, buruh dibayar murah berbanding terbalik dengan kelompok orang kaya semakin makmur, koorporasi nasional internasional sukses dengan gemilang. Karena itulah kemerdekaan tidak lagi menjadi bermakna ketika penjajahan, penundukan, penguasaan masih berlangsung dalam bentuknya yang sistematis. Ironisnya dilakukan oleh negara yang diamanatkan untuk melindungi rakyatnya.

Maka simaklah kembali Proklamasi Kemerdekaan itu, yang mengarisbawahi kemerdekaannya atas nama SELURUH RAKYAT INDONESIA, bukan sekelompok atau segelintir orang. Juga ingatkan lagi lagu kebangsaan Indonesia Raya, khususnya stanza kedua dan stanza ketiga, yang didalamnya terkandung amanat perjuangan kemerdekaan: “menyematakna semuanya”, Rakyatnya,, tanahnya, pulaunya, lautnya (tentu didalamnya hutan, tambang, sungai, air) (Wiradi, 2004). Bunyinya:

Stanza 2:
Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya, semuanya
Sadarlah hatinya
Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya

Stanza 3 :
Marilah kita berjanji, Indonesia abadi
Selamatkan tanahnya, selamatkan Putranya, Pulaunya, Lautnya, Semuanya”

Maka, membincangkan kembali kemerdekaan adalah mengembalikan maknanya pada kemerdekaan rakyat, tanah, pulau, laut, semuanya. Mengembalikannya berarti melakukan sesuatu, menggunakan bahasa, simbol, untuk didengarkan; memberikan aksi sebagai peringatan pada penguasa. Terus…terus melakukannya hingga kemerdekaan menjadi milik semuanya (bukan segelintir orang). Lalu itu berarti menghapuskan penguasaan, penaklukan tanah-tanah atas nama apapun yang menindas rakyat, pun atas nama pembangunan. Rebut, dapatkan!

(Poso, 17 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar