Pejuang-pejuang Tana Poso

Sejarah adalah milik para pemenang. Karena itupula catatan tentang pejuang dan pahlawan di suatu wilayah adalah catatan yang dibuat oleh pemenang. Pada akhirnya catatan sejarah tentang pejuang Tana Poso tidak dibicarakan, bahkan dipinggirkan hampi rlenyap. Upaya untuk mendekonstruksi sejarah Poso menurut tutur masyarakat aka rrumput menemukan kisah perjuangan luar biasa yang menggambarkan bagaimana Tana Poso dipertahankan, diperjuangkan.

Wilayah ini disebut Poso pada abad ke 12. Poso berasal dari bahasa Pamona berarti KEKUATAN (Perdebatan mengenai arti kata Poso yang selalu dikutip oleh para aktivis,peneliti dan akademisi akan diuraikan tinjauan kritisnya pada bahasan mengenai sejarah Poso). Adalah kisah pejuang Tana Poso-lah yang menggambarkan bagaimanaTana Poso menjadi kekuatan yang memiliki makna mendalam bagi komunitas yang mendiaminya selama berabad-abad.

Islam adalah agama yang pertama masuk di wilayah ini, yakni di Wotu pada tahun 1583, sementara Misionaris Kristen (Kruyt) masuk ke wilayah pedalaman pada tahun 1892 (Pertemuan Islam dan Kristen yang harmonis dan indah dimulai saat Kruyt diterima dan diberikan petunjuk bahkan diantarkan oleh Baso Ali – sekarang keturunan keluarga Odjobolo, tokoh Islam, ke wilayah pedalaman untuk memberitakan Injil). Sebagai seorang misionaris, Kruyt tunduk pada perintah Kerajaan Belanda.Dalam rangka meluaskan ekspansinya dan menundukkan wilayah Poso, Kerajaan Belanda memerintahkan Kruyt untuk pergi ke Wotu, dan meminta agar Poso dilepaskan. Namun kedatangan Kruyt tidak disambut oleh penguasa Wotu. Hal ini pertama-tama karena hubungan antara Wotu dan Poso adalah hubungan yang sederajat, tidak saling menguasai atau menundukkan. Wotu memiliki wilayah kedaulatan tersendiri, demikian pula Poso dan demikian pula Luwu. Hubungan antara ketiga wilayah ini saat itu saling mengakui dan menghargai wilayah kedaulatan masing-masing. Namun, bila Poso memiliki urusan yang berkaitan dengan Luwu, Poso akan mengurusnya melalui Wotu. Demikian pula bila Luwu memiliki urusan dengan Poso maka akan melalui Wotu. Kesepakatan untuk saling melindungi bahkan disimbolkan dengan penanaman bambu kuning di Korobono dan biji mangga di Tanumbeaga (sekarang di atas Desa Taripa). Bambu kuning dan biji mangga ini menjadi simbol satunya Luwu dan Poso (baca:Pamona). Namun, kepergian Kruyt dalam statusnya sebagai perwakilan Kerajaan Belanda bukan misionaris ke Wotu bukan tanpa maksud, karena disertai dengan isu yang dihembuskan oleh kolonial Belanda bahwa Tana Poso adalah jajahan Luwu dan Wotu. Isu ini dimaksudkan untuk memecah belah kesepakatan kedaulatan yang sudah terjalin antar wilayah demi meluluskan ekspansi kolonial Belanda.

Penolakan Luwu atas permintaan Kerajaan Belanda disambut dengan melakukan serangan besar-besaran ke Wotu. Macoa Wotu ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Hingga saa tini tidak pernah ada kisah yang terdengar pasca penangkapan Macoa Wotu yang mempertahankan kesepakatan kedaulatan. Penangkapan Macoa Wotu menimbulkan perlawanan di berbagai wilayah di Tana Poso. Yang terkenal adalah perlawanan Tabatoki di Pebato, perlawanan Tompayau di Kandela dan perlawanan Umanasoli di Peore ( bersama dengan Raja Mori, Marunduh).

Kisah perlawanan Tampayau dikenal paling heroik. Meskipun memiliki pasukan gerilya rakyat setempat dalam jumlah yang kecil, Tampayau menolak menyerahkan diri. Kolonial Belanda tidak pernah berhasil menangkap Tampayau. Tampayau dipercaya memiliki kekuatan khusus yang membuatnya tetap bertahan hidup. Untuk menundukkan Tampayau yang dianggap paling merugikan, kolonial Belanda memakai siasat.Kerajaan Belanda meminta pimpinan Tana Poso (setelah melalui kesepakatan) untuk memberitahukan kepada Tampayau bahwa akan diadakan perundingan perdamaian.Pertemuan perundingan perdamaian ini mensyaratkan Tampayau datang sendirian dengan tidak membawa perkakas perang. Karena diperintahkan oleh pimpinan Tana Poso saat itu dan mendengar bahwa akan ada perundingan damai, Tampayau menyepakati pertemuan tersebut. Tampayau menghadiri rencana perundingan perdamaian dengan hanya membawa serta satu orang tukang dayung perahu.

Siasat perundingan kolonial Belanda ini berhasil. Datang dengan damai, Tampayau ditangkap dan diseret untuk dibunuh. Setelah dilucuti seluruh badan, Tampayau diseret masuk ke wilayah Tandobone untuk dibunuh. Namun dikisahkan, prajurit kolonial Belanda yang menyeret Tampayau kelelahan dan tertidur saat sedang beristirahat di bawah sebuah pohon. Tampayau berusaha melepaskan ikatannya dan bergerak cepat melawan prajurit yang terbangun, membunuh belasan prajurit.Perlawanan Tampayau membuat kaget para prajurit, lalu Tampayau dihujani peluru.Bahkan setelah gugur karena terjangan peluru, tubuh Tampayau dipotong-potong kecil. Namun kisah Tampayau telah menunjukkan perlawanan besar untuk mempertahankan Tana Poso, menolak tunduk.Tugu di Tandobone, Pamona, menjadi tanda keberadaan Tampayau.

***

Kisah pejuang-pejuang Tana Poso di atas menggambarkan dua hal penting. Pertama, upaya penaklukan dan penguasaan alat dan sistem produksi di negeri yang gemah ripaloh jinawi ini dilakukan oleh penjajah ekonomi berkoalisi dengan kekuasaan.Ketidakmampuan kolonial Belanda menundukkan perlawanan Tampayau dan gerilyawan kecil lainnya, mendorongnya menggunakan jalur kekuasaan dengan meminta pimpinan Tana Poso untuk menyerahkan Tampayau dengan siasat perundingan.

Dalam banyak peristiwa pembebasan lahan di Poso, dan sekitarnya (di wilayah Indonesia)perusahaan menggunakan tangan pemerintah untuk alih-alih menjadi penengah, jurudamai, menjadi tim sembilan/sepuluh atau sebelas lalu membuat kesepakatan penyerahan tanah. Bahkan lebih parah lagi, karena Undang-undang Penanaman Modal, penetapan kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang berlandaskan Hak Menguasai Negara (HMN), lalu ketentuan-ketentuan sektoral yang menyangkut hutan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990) dan peraturan lainnya menjadi legitimasi monopoli penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Demikian juga kisah Naftali Duka, Kepala Desa Bimor Jaya yang menolak kehadiran perusahaan di desanya lalu dijerat pasal Undang-undang Tipikor dengan tanpa alasan yang kuat,adalah salah satu upaya melumpuhkan perlawanan. Bukan hanya aparat ideologi,aparat represif negara, yakni militer dan polisi menjadi bagian aktif dariupaya penguasaan dan penaklukan tanah. Penggunaan militer dan polisi untukmenakut-nakuti atau melakukan serangan terhadap aktivis dan para petani diBanggai, di Morowali, di Poso menunjukkan taktik-taktik alat represif negara.

Namun, hal kedua yang tidak kalah penting adalah perjuangan membutuhkan napas panjang dan kekuatan bersama. Bersatu, berteguh, lalu bergerak bersama menuntut, merebut.Dengan kata lain perjuangan untuk tanah, air dan udara sebagai hak untuk hidup adalah sebuah totalitas bagi kemerdekaan, meskipun tidak selalu membuahkan hasil secepat yang diharapkan. Terus menerus bersuara, beraksi, berkomitment melanjutkan perjuangan untuk kemerdekaan. Godaan untuk menjauhkan diri dari panggilan untuk perjuangan adalah dinamika sekaligus strategi dari kekuasaan.Namun kisah Tampayau menggambarkan perjuangan untuk Tana Poso telah dilakukan dengan darah dan airmata. Meskipun dalam kelompok-kelompok kecil, dengan peralatan sederhana, dan ketidakkepastian untuk menang tidaklah mudah, keteguhan hati melanjutkan perjuangan mendasari jiwa dan raga. Penolakan Macoa Wotu untuk mengatasnamakan penyerahan Tana Poso juga menunjukkan keterkaitan ikatan perjuangan ini, meski harus menanggungresiko mati. Gerakan rakyat, akademisi, aktivis, sastrawan, seniman yang terus bergulir di negeriini adalah gerakan yang membutuhkan napas panjang, saling berkaitan. Penangkapan aktivis FRAS dan petani di Banggai, menggerakkan wilayah lain di negeri ini,Poso, Morowali, Donggala, Palu untuk bersinergi. Bukan hanya aktivis gerakan, tapi akademisi, politisi, peneliti, penulis dan sebagainya. Godaan saat ini terlihat lebih kompleks, baik donor melalui paradigma pembangunan dan perdamaian atau jabatan.

Kemerdekaan yang diraih Republik ini adalah juga karena perjuangan Tampayau dan Tampayau-tampayau lain di berbagai wilayah di Tana Poso, meskipun mereka tidak terdaftar dalam kategori pahlawan versi negara ini. Makna amanat perjuangan kemerdekaan ini menempatkan visi rakyat untuk: "menyelamatkan semuanya", Rakyatnya,, tanahnya,pulaunya, lautnya (tentu didalamnya hutan, tambang, sungai, air) dari penguasaan dan penaklukan (siapapun, atas nama apapun).

Sejarah telah mengajarkan untuk berjuang bagi status untuk kemerdekaan. Dengan kata lain,perjuangan atas Tana Poso tidaklah a-historis. Dalam konteks yang berbeda dan lebih kompleks pada jaman ini, perjuangan masih harus dilanjutkan. Melawan penguasaan, penaklukan atas tanah-tanah, air, udara, pun atas nama pembangunan.Pun, jika pelaku-nya adalah penguasa negeri ini dengan alat ideologi dan alatrepresifnya.Dan,pejuang-pejuang itu bergerak lagi dalam wujud yang berbeda namun sama dalam jiwa untuk kemerdekaan (bagian 2 tulisan)**


* Kisah Tampayau didapatkan dari Budayawan Poso, Yustinus Hokey dan dari pertemuan para Tetua Poso dengan penulis
**dalam versi terbatas di www.perempuanposo.com/artikel

Poso, 18 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar