Wacana Serangan:Strategi Pembungkaman Gerakan Rakyat

“untuk bikin konflik lagi di Poso, gampang saja, cukup seribu rupiah.sms..”
(seorang anggota intel)

“lucu, mereka bilang dari Tentena mau serang Poso, kita yang di Tentena malah sibuk ke kebun, ke sekolah, ke kantor, di karamba, ikut liburan Idul Fitri,malah anak-anak muda sini sementara persiapan untuk pekan budaya Poso. Kemarin saya malah ikut sosialisasi handbook peringatan dini konflik berbasis komunitas. Artinya, kami ini mau damai...”
(seorang eks kombatan, Tentena)

“sekarang itu kalau konflik, yang untung cuma dua,provider telepon dan polisi/TNI, atau kadang-kadang juga media, beritanya naik..”
(seorang guru Mengaji, Poso)

***

Komentar-komentar tersebut diatas merupakan sebagian dari respon masyarakat akar rumput terhadap isu penyerangan yang beredar beberapa hari ini di Poso. Komentar tersebut menunjukkan dua hal yang saling berkebalikan. Pertama, ada keyakinan bahwa masyarakat Poso sangat rapuh sehingga sewaktu-waktu dapat digolakkan kembali meskipun hanya dengan isu yang disebarkan melalui sms. Keyakinan ini lebih banyak dimiliki oleh pihak pemerintah, para penguasa. Namun keyakinan ini berkebalikan dengan hal kedua, yakni masyarakat telah memiliki kesadaran yang cukup tinggi baik untuk menyaring informasi yang benar, termasuk mengacuhkannya jika dianggap tidak benar, sekaligus melakukan tindakan klarifikasi melalui jaringan komunikasi antar kerabat, antar kawan, bahkan antar eks kombatan.

Upaya-upaya untuk menggambarkan Poso tidak aman sudah sangat sering dilakukan oleh berbagai pihak. Isu yang beredar dalam beberapa hari menjelang Lebaran hanyalah sekian usaha dari pihak-pihak berkepentingan beberapa bulan terakhir. Tulisan ini hendak melihat kepentingan-kepentingan yang menyertai upaya-upaya pengkondisian Poso sebagai wilayah tidak aman, atau bahwa masyarakatnya saling berkonflik. Pembungkaman. Pelumpuhan

***

Isu, rumor membentuk opini, disebarkan dalam simbol, pernyataan-pernyataan dan sebagainya hingga menjadi wacana. Sebuah wacana akan memproduksi gagasan atau konsep-konsep yang diyakini kebenarannya serta mendasari tindakan dan atau mempunyai efek dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dengan kata lain, wacana tentang kondisi Poso memiliki kemampuan untuk mengontrol setiap pernyataan dan mendasari perilaku masyarakat. Wacana menyebabkan masyarakat Poso tanpa sadar, seringkali dengan sengaja, “menyesuaikan” narasi dan perilaku sosial mereka dengan individu atau komunitas lain. Ini tergambar dari sejarah panjang meluasnya konflik Poso.

Sejarah, termasuk sejarah konflik Poso menunjukkan peranan isu dan rumor menjadi faktor utama meluasnya, berkepanjangannya konflik kekerasan di Poso. Selanjutnya isu, rumor yang dikemas dalam paket komunikasi singkat misalnya ala sms, membentuk jejaring komunikasi yang cepat, namun tidak jelas, singkat tapi tidak menjelaskan. Ironisnya, seringkali dipercaya. Atau paling tidak dianggap meragukan, tapi diwaspadai. Lalu terbentuk opini, menjadi wacana tentang adanya sesuatu, tentang keberadaan kelompok ini dan itu, selanjutnya saling mencurigai, dan ketika memuncak tidak terkendali menjadi sebuah tindakan.

Demikian juga yang terjadi ketika tidak seorangpun hingga sekarang mengetahui sumber informasi yang menjadi dasar pernyataan resmi Kodam VII/Wirabuana tentang kelompok-kelompok yang bertikai di Poso lengkap dengan nama-nama yang menyeramkan, termasuk isu tentang Pasukan Merah dan Pasukan Putih. Semuanya berasal dari isu dan rumor, lalu dengan tidak terduga telah memobilisir masyarakat. Dengan kata lain pemberitaan adanya kelompok bersenjata di kedua komunitas agama mendahului kenyataannya. Pernyataan itulah yang memobilisir massa, menjadikannya kenyataan. Akibat mendahului sebab (the power of discourse).

Sejarah konflik Poso juga menggambarkan dengan jelas efektifitas isu dan rumor untuk menenggelamkan kasus-kasus ekonomi politik yang sebenarnya sedang terjadi. Konflik di Poso pada tahun 1998 terjadi dalam lingkaran proses politik lokal. Proses politik lokal yang dimaksud adalah perebutan jabatan Bupati Poso pasca berakhirnya masa jabatan Arief Patanga, bupati Poso ke-13 (1989-1999), bersamaan dengan korupsi Kredit Usaha Tani (KUT) yang diduga dilakukannya. Meledaknya konflik Poso tidak saja menutup kasus korupsi tersebut, tapi juga terulang lagi dalam kasus-kasus korupsi dana kemanusiaan Poso. Tidak terungkap hingga sekarang.
Sejarah menunjukkan dengan jelas, dan beberapa pihak ingin mengulang kesuksesan atas sejarah gelap itu. Simbol, ikon, peristiwa tertentu dijadikan amunisi untuk meng-aktivasi ingatan masyarakat sehingga kecemasan menjalar, kecurigaan dipupuk, ketidakpercayaan dipelihara, proses perdamaian yang dirajut masyarakat akar rumput diretakkan.

***

Konteks dan isi isu yang disebarkan menjadi titik penting memahami kepentingan penyebarannya. Michel Foucault menyebut wacana sebagai suatu himpunan pernyataan (statement) atau sistem pengucapan yang menentukan cara kita berbicara dan selanjutnya menjadi penentu benar tidaknya suatu pernyataan (regime of truth) (Foucault, 1972). Menelusuri wacana adalah bagian dari upaya untuk memeriksa produksi dan reproduksi makna dari himpunan pernyataan. Himpunan pernyataan tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari konteks sosial, budaya, politik tapi sebaliknya terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subyek dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat (Hikam, 1996).

Konteks. Isu penyerangan disebarkan dalam dinamika politik lokal di Poso, penetapan tersangka kasus korupsi dana recovery Poso, protes-protes bernada tidak puas terhadap pemerintah lokal. Sementara itu rajutan damai dalam masyarakat mulai terjalin, kekerabatan menyatu, kunjungan lintas komunitas, antar wilayah terjadi setiap saat, ingatan peristiwa negatif konflik mulai terurai dalam kesadaran kritis tentang kepentingan politik dan ekonomi yang menyertainya.

Isu. Isu penyerangan menggunakan dua kata kunci: kelompok tertentu dan hari raya. Jelas, selain mengaktivasi ingatan masyarakat, juga mempolitisir ingatan dalam ranah konflik dan agama. Isu ini memainkan rasa keadilan dan kerinduan akan perdamaian yang sudah ada dalam masyarakat.

Kondisi inilah yang kemudian diharapkan dapat melumpuhkan kesatuan lintas komunitas, lintas wilayah dalam lingkaran kesadaran kritis mereka terhadap proses politik. Gerakan rakyat lintas komunitas, lintas wilayah yang selama ini sudah terjalin dalam menuntut hak-hak ekonomi, sosial, politik mereka ditenggelamkan dengan isu masih pecahnya kelompok tersebut. Selanjutnya pelumpuhan ini akan mengakibatkan dua hal: pertama, pembungkaman terhadap kasus-kasus yang berkaitan pencurian hak-hak rakyat, terus dilestarikan. Kedua, jika tuntutan, perjuangan dilanjutkan akan diberikan tuduhan baru, mulai dari pengacau keamanan, hingga tuduhan bahwa tuntutan tersebut hanya disuarakan oleh kelompok tertentu (baca:komunitas tertentu). Dalam hal inilah dapat dikatakan wacana penyerangan tentu merupakan strategi pembungkaman gerakan bersama masyarakat untuk merebut kembali hak-hak-nya SIPOL dan EKOSOB.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin


Poso, 6 September 2010
Gerakan Lawan Lupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar