Dero: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Sekarang

Diiringi musik dari kaset yang melantunkan lagu berbahasa Pamona, beberapa pasang muda-mudi itu menggoyang pinggul mereka semaksimal mungkin kekiri dan ke kanan sambil melangkahkan kaki hampir setengah berlutut sementara tangannya bergerak ke kiri dan ke kanan sedikit menghentak mirip penari Bali mengikuti gerak kaki dan pinggul. Ketika bertemu di tengah panggung, pasangan muda mudi itu saling melempar senyum dan bergandengan tangan lalu membuat lingkaran. Dalam lingkaran tersebut, pasangan muda mudi mengayunkan kaki kanan ke depan dua kali, dan ke belakang satu kali diikuti gerakan badan bagian pinggul atas yang agak miring. Selang beberapa gerakan yang sama, tiba-tiba lingkaran tersebut terbongkar ketika para pemudi bergerak keluar dari lingkaran lalu melakukan manuver gerakan tarian yang rumit mulai ujung kaki hingga kepala, demikian juga para pemuda meskipun dalam lingkaran yang berbeda. Badan dimiringkan bersamaan dengan tangan yang mengaun gemulai, lalu bertepuk tangan dua kali, kemudian melakukan manuver gerakan memutar yang membuat seluruh penari tiba-tiba berada dalam lingkaran. Dalam waktu yang berbeda, para pemuda yang berada di luar lingkaran. Setiap kali berada di luar lingkaran semula terdapat para penari membawakan manuver gerakan yang berbeda-beda. Kadangkala berputar-putar lalu bertepuk tangan, lalu meliuk-liukkan badan ke kiri dan ke kanan dengan gerakan tangan kiri dan kanan yang gemulai, beberapa kali terlihat mirip tarian bali. Pada akhirnya setelah semua gerakan tersebut mereka bergabung kembali dalam lingkaran selama beberapa saat. Beberapa kali terlihat lingkaran bergerak membesar ketika para penari saling menjauh tapi tetap bergandeng tangan atau lingkaran kecil ketika para penari saling mendekat. Seluruh gerakan tersebut terlihat indah sekaligus rumit.

Gambaran tarian tersebut di atas bermunculan di panggung Festival Danau Poso, dibawakan oleh semua perwakilan kabupaten. Beberapa menit sebelum para penari tampil, pembaca acara mengumumkan bahwa apa yang akan disaksikan adalah dero kreasi.


Tulisan ini akan meninjau ulang tarian tradisional dero yang mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam keterbatasannya, tulisan ini hanya akan menuliskannya singkat dalam dua tulisan.

Dero: Riwayatmu Dulu

Penyebutan atau penamaan Dero pada tarian massal yang terkenal di Kabupaten Poso ini memiliki sejarah yang panjang. Tarian ini pada awalnya disebut Moende. Moende merupakan salah satu aktivitas yang dibawakan massal oleh orang-orang di kampung ketika berkumpul di Lobo saat membuat hiburan pada peristiwa kedukaan. Selama satu minggu warga kampung berkumpul di Lobo dan melakukan seluruh aktivitas bersama, termasuk makan dan minum dan tidur, untuk saling menguatkan dan berbagi suka dan duka. Moende dilakukan dalam sebuah lingkaran bersama dengan gerak kaki kanan ke depan dua kali diikuti kaki kiri kebelakang satu kali, sementara kedua tangan diangkat setinggi pinggu, digenggam dan diayun halus. Sambil melakukan gerakan tersebut seluruh warga yang ikut dalam lingkaran saling berbalas pantun yang isinya saling menguatkan dan berbagi suka dan duka. Aktivitas Moende ini diiringi oleh gendang dari kulit binatang, biasanya rusa dan gong yang diletakkan di tengah lingkaran. Lobo kemudian dilarang untuk digunakan setelah masuknnya Zending Belanda, namun tarian Moende masih menjadi tarian bersama masyarakat. Saat ini tarian Moende dianggap berbeda dengan Dero, namun disebut sebagai tari Dero asli.

Pada sekitar tahun 1942, bersamaan dengan masuknya Jepang ke wilayah di lembah Pamona Raya menggantikan Belanda seluruh aktivitas sosial kemasyarakatan dialihkan ke pihak gereja. Bersamaan dengan itu pemerintahan Jepang menempatkan para ahlinya, salah satunya Ir.I Gondo, untuk mengembangkan dan mengelola peternakan sapi dan penanaman kapas di banyak areal di dataran Poso. Kapas dan sapi tersebut dibawa ke wilayah Makasar. Hasil panen ini dibawa oleh rombongan besar penduduk pribumi yang diawasi oleh tentara Jepang. Dalam perjalanan ke Makasar, rombongan beristirahat dan bermalam di desa-desa yang dilewati. Saat beristirahat di kampung Dulumai, Ir. I. Gondo meminta kepada Sonco (kepala desa) untuk membuat keramaian di desa yang berguna untuk menghibur para prajurit Jepang. Permintaan tersebut diiyakan oleh Sonco dan mengatakan bahwa salah satu hiburan bersama masyarakat adalah Moden-ndelu. Penyebutan kata moden-ndelu ini merujuk pada bunyi yang dihasilkan oleh alat musik yang mengiringi tari Moende, yakni gong dan gendang. Bunyi yang dihasilkan alat musik Moende ini pada dasarnya terdengar seperti taku dende den delu, taku dende den delu. Oleh Sonco disingkat menjadi Moden-ndelu, untuk mempermudah diingat oleh orang Jepang.

Saat mengulang nama hiburan tersebut oleh orang Jepang berubah menjadi ndelu delu, namun dialek Jepang yang agak sulit dengan huruf l menjadikannya disebut ndero. Oleh orang kampung kata tersebut menjadi lebih populer ketika mereka meniru pengucapan orang Jepang dengan kata ndero, yang kemudian dalam pengucapan yang lebih cepat terdengar menjadi dero. Tarian ini kemudian disebut juga Modero.Penjelasan Sonco tentang jenis tarian yang diyakini bisa menghibur para prajurit tersebut disetujui tetapi dengan mengajukan syarat bahwa Moende atau moden-ndelu atau ndero atau dero dibawakan semua orang dalam lingkaran dengan bergandengan tangan satu sama lain, dan dengan irama yang lebih cepat dari sebelumnya.

Lepas dari penjajahan Jepang, Modero berkembang menjadi tarian bersama masyarakat di kampung yang wajib dilakukan setiap kali terdapat perayaan bersama termasuk pesta pernikahan. Modero yang dikenal masih menggunakan langkah kaki yang sama, yakni kaki kanan dua kali diikuti kaki kiri satu kali, dilakukan sambil diiringi lagu bersama dan berbalas pantun. Terdapat lagu bersama yang dinyanyikan oleh seluruh orang yang berada dalam lingkaran. Setelah lagu bersama tersebut selesai akan dilakukan satu pantun yang dilagukan. Sebelum pantun dibalas, lagu bersama dinyanyikan sekali lagi, demikian seterusnya. Modero kemudian menjadi tarian persahabatan, kekerabatan yang menggambarkan keakraban seluruh isi kampung dan para tamu dari luar. Modero bisa dilakukan oleh anak-anak, remaja, orang tua hingga lansia. Siapapun bisa bergabung dalam lingkaran dan sebaliknya terdapat semacam tabu untuk menolak seseorang yang hendak masuk dalam lingkaran. Bergandengan tangan sering dimaknai sebagai bentuk saling menguatkan dan berbagi rasa, sementara pantun-pantun yang dilagukan mewakili perasaan dan situasi sosial saat itu. Berbalas pantun menjadi inti dari modero. Hingga tahun 1960 hingga 1980-an, Modero yang demikian masih banyak ditemui di kampung-kampung di Kabupaten Poso. Dero kemudian menggambarkan kesederhanaan yang anggun dan akrab antar seluruh warga.

Pada tahun-tahun tersebut dero menjadi tarian antar anak muda, orang tua, remaja hingga lansia yang saling melempar pantun. Pantun yang terkenal misalnya:

“kucoba-coba melempar mangga,
Mangga kulempar , durian jatuh
Kucoba-coba melamar gadis,
Gadis kulamar janda kudapat,
....

Selesai pantun dinyanyikan, akan disambung dengan gelak tawa, senyum oleh seluruh peserta dalam lingkaran sambil menunggu siapa kelak yang akan menjawab atau membalas pantun sebelumnya dengan nyanyian bersama (semacam refrain dalam lagu). Refrain lagu yang terkenal pada tahun-tahun 1970-1980an misalnya:

Tujuh dan dua jadi sembilan tambah satu
tambahlah satu jadi sepuluh, nona ita
nona ita manise e, aduh kasian
ingat saudara, jauh ditanah orang....


Demikian seterusnya, sehingga lingkaran dalam dero tidak pernah putus, sebaliknya ramai dengan pantun penuh kelakar, rasa hormat, kekaguman pada seseorang atau pada alam, kata-kata bijak, nasehat mengalir dalam pantun-pantun. Tak heran, jika gong dan gendang telah berbunyi di tengah kampung menandakan dero sudah akan mulai, para anak muda, orang tua, lansia hingga anak-anak sering membawa sarung bersama mereka karena jika tidak bergabung mereka akan menonton pagelaran rakyat penuh akrab yang sayang jika dilewatkan, sebaliknya akan diperbincangkan sepanjang minggu. Demikianlah dero menjadi ruang bersama rakyat.

Menjadi ruang bersama rakyat ketika dalam lingkaran yang tidak terputus, keindahan gerakan bukanlah yang utama melainkan keakraban dalam jalinan tangan tak terputus diiringi pantun-pantun indah, senyum dan gelak tawa. Atau, sambil menunggu untuk masuk dalam lingkaran percakapan-percakapan, termasuk melempar senyum. Bahkan, perkelahian, rasa tidak suka, bersitegang dalam kampung bisa dipertemukan dalam dero. Tak heran, semua orang dari segala usia dari banyak latarbelakang menanti dero diadakan di kampung.

Nasibmu kini, oh Dero : Sebuah Transformasi?


Memasuki akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000an bersamaan dengan masuknya musik elektronik ( oleh warga disebut elekton) di kampung-kampung, terutama penggunaan organ di gereja dan di desa, alat musik yang mengiringi Dero berubah. Perubahan tersebut terbilang drastis karena berubahnya alat musik dero dari gong dan gendang menjadi iringan musik elektronik mengubah keseluruhan isi dero. Perubahan ini terjadi mulai dari penampilan luar hingga maksud dan makna tarian.

Masuknya musik elektronik di kampung juga diikuti oleh beredarnya kaset-kaset yang disebut-sebut sebagai lagu dero. Salah satu lagu yang terkenal adalah lagu yang menyebutkan kinde-kinde. Lagu ini kemudian menjadi istilah lain, penamaan baru terhadap dero. Kinde-kinde mengawali meluasnya lagu-lagu ciptaan dalam bentuk kaset, lalu berkembang ke DVD atau CD untuk mengiringi dero sehingga seringkali jika tidak mampu menyewa penyanyi utama untuk mengiringi dero, cukup memutar kasetnya saja (tentu disertai pengeras suara yang cukup untuk membangunkan seisi kampung). Atau, jika anda ingin menyaksikan dero tapi tidak ada yang menyelenggarakan cukup membeli kaset DVD atau CD. Para penyanyi lagu-lagu dero mulai bermunculan, elekton-elekton baru ditambahkan dan bersamaan dengan itu nada dalam lagu dero mulai bertambah kecepatannya. Jika pada awal munculnya dero, nada lagu dero ciptaan pada kaset masih menyesuaikan lagu yang biasa muncul di dero asli, kali ini nada lagu mulai mengikuti nada-nada cepat . Lalu perubahan lain menyusu, mengikut, cepat, sungguh cepat.

Perubahan pertama adalah nyanyian bersama hampir ditiadakan. Jika sebelumnya nyanyian dilagukan bersama oleh semua orang yang ada dalam lingkaran, kali ini terdapat satu penyanyi utama yang menggunakan mikropon sementara mereka yang berada dalam lingkaran terus menari dan hanya sesekali saja bernyanyi (jika mereka ingin).

Masih berkaitan dengan perubahan pertama, hal mendasar kedua adalah hilangnya pantun. Karena terdapat penyanyi utama yang menguasai dan mengontrol musik, maka secara otomatis tidak ada lagi pantun. Semua yang ada dalam lingkaran hanya bergerak mengikuti irama sementara lagu ditentukan oleh penyanyi utama.

Hal ketiga yang juga penting dan telah berubah adalah orang-orang yang terlibat dalam tarian dero adalah orang-orang tertentu. Orang-orang tertentu yang dimaksud adalah para anak muda. Sementara orang tua apalagi lanjut usia menyampaikan ketidaknyamanan yang amat sangat terhadap jenis musik dan lagu yang mengiringi dero. Ketidaknyamanan juga dirasakan orang tua terhadap seluruh gerak badan dalam dero yang dipamerkan. Mereka akhirnya memilih menonton atau pulang tidur dengan terpaksa mendengar suara musik dero yang berdentam-dentam. Dero kemudian hanya dikenal sebagai tarian pergaulan anak muda.

Sejak akhir tahun 2009 dan tahun 2010, berkembang kinde-kinde yang menyertakan Disk Jokey atau DJ. Musik DJ yang mengiringi dero. Perubahan mendasar bergerak begitu cepat, dimana kapitalisme juga menjadi bagian penting penggeraknya.

Ketika pelaku dero hanyalah anak muda saja, pada periode tahun 2005, berkembang kreativitas dalam lingkaran dero. Kreativitas ini mengubah gerak langkah kaki dan tangan dalam lingkaran. Beberapa pihak masih mempertahankan gerak langkah kaki dengan pola dua kali kaki kanan dan satu kali kaki kiri, namun dengan turut menggoyangkan bahu, pinggul, kepala dan ayunan kaki yang lebih lepas dan dramatis. Meskipun demikian tangan-tangan masih saling bergandengan tangan, tidak lepas. Sementara ini, banyak juga dikembangkan tidak saja menggoyangkan seluruh badan tetapi juga melepas tangan, melakukan tepuk tangan satu atau dua kali, berputar lalu kembali bergandengan tangan.

Apa yang digambarkan pada bagian awal tulisan ini adalah bentuk terbaru dero, yang disebut-sebut sebagai dero kreasi atau dero modern. Dero kreasi dari Kabupaten Donggala terlihat lebih rumit ketika menggabungkan tari pendet dan tari kecak dari Bali (minus belokan mata yang indah). Tidak cuma itu, para penari lebih sering berada di luar lingkaran melakukan manuver gerakan yang cantik dan rumit daripada bergandengan tangan satu sama lain. Sementara dero kreasi dari Kabupaten Morowali yang hanya dibawakan oleh tiga pasang pemuda pemudi terkesan menggabungkannya dengan tari Momonte. Kabupaten Poso berusaha mempertahankan sedikit model dero sebelumnya yakni tetap berada dalam lingkaran, meskipun sesekali melepas tangan untuk memutar badan, bertepuk tangan atau memegang pundak atau pinggul. Keseluruhan gerak tari tersebut jika disebut dero kreasi kemudian menjadi membingungkan, mengingat sejarah dan bentuknya semula.

Dan, tentu, membutuhkan penari profesional untuk melakukan semua gerakan tarian rumit nan indah tersebut.

Pada akhirnya, dero dilakukan sebagai ekspresi kesukacitaan sekaligus kemewahan dan tertentu. Karena untuk menyelenggarakan dero, diperlukan musik elekton dengan segala macam perlengkapan sound system, dan membutuhkan penyanyi utama sehingga keseluruhan penyelenggaraan dero membutuhkan bayaran per jam atau per hari, bahkan kemudian jika anda ingin dero itu membutuhkan ketrampilan atau keahlian tertentu. Karena dero, sekarang, mengutamakan gerak-gerak rumit, bukan lagi kesederhanaan dan keakraban yang anggun dalam lingkaran. Tentu saja, dero kemudian berkembang dalam kaset-kaset dan DVD, CD, para penyanyi dan pemilik elekton. Dalam hal inilah terjadi kapitalisasi dero. Dero, menjadi tarian mahal, bagi kalangan tertentu, tidak lagi menjadi tarian rakyat.

2 komentar: