Buruknya Wajah Festival Danau Poso 2010 : Catatan Merebut Ruang Gerak Budaya Rakyat


Puluhan pasang mata memandang lesu menahan kantuk ke arah panggung. Seorang juri di barisan depan bersandar di kursi sambil mengutak atik handycam dan telepon genggam miliknya. Saat itu sudah pukul 23.30 Wita. Hanya beberapa pendamping penampil yang tetap antusias mengikuti jalan cerita yang ditampilkan dalam pesona budaya kabupaten. Sementara itu para penampil berusaha menarik perhatian juri dan penonton dalam beberapa jenis penampilan seperti pagelaran busana, seni pertunjukan rakyat dan dero kreasi. Malam semakin larut, penonton beranjak pulang karena tidak tahan kantuk, meski masih ada dua kabupaten yang belum menampilkan pesona budayanya. Hanya satu orang turis yang bertahan, sementara beberapa yang lainnya memilih pulang setelah menyaksikan lenggak lenggok putri dan putra pariwisata yang menyelingi pagelaran pesona budaya. Jam sudah menunjukkan pukul 00.02. Hari kedua festival.

Sepi.

Suasana berbeda nampak di penutupan festival, hujan deras yang mengguyur wilayah Tentena sejak pukul 17.00 tidak menghalangi niat para pengunjung mendatangi lokasi festival. Selain dihadiri pejabat Propinsi dan Kabupaten, kedatangan Putri Pariwisata disebut mempengaruhi jumlah pengunjung. Namun yang penting dalam ingatan para pengunjung adalah ini hari terakhir festival tepat pada saat hari libur sehingga pilihan menghabiskan waktu sekedar berkumpul atau sekedar berkunjung. Terdapat semacam asumsi bahwa akhir festival dipastikan lebih ramai. Keramaian. Niat mengunjungi lokasi festival adalah karena keramaian.


Kesepian yang menghampiri agenda pesona budaya daerah dari masing-masing kabupaten yang justru menjadi inti utama dari festival dan keramaian pada hari terakhir festival menimbulkan pertanyaan mau dibawa kemana nasib Festival Danau Poso ini.

Tulisan ini bermaksud memberikan catatan kritis terhadap seluruh penyelenggaraan festival.

Festival Setengah Hati

Wakil Gubernur, Ahmad Yahya, yang dalam pembukaan festival Danau Poso menyebut festival tahun ini sebagai festival yang diselenggarakan setengah hati. Setengah hati ini nampak dari persiapan teknis festival hingga makna utama dari sebuah festival.

Berkaitan dengan persiapan teknis, setengah hati pertama, agenda Festival Danau Poso yang melibatkan seluruh kabupaten di Sulawesi Tengah dilaksanakan tanpa mempertimbangkan agenda festival lainnya yang juga dilaksanakan di kabupaten lain. Bersamaan dengan pelaksanaan Festival Danau Poso di Kabupaten Poso juga dilaksanakan Festival Togean di Kabupaten Tojo Una-una. Selain itu, terkesan yang penting dilaksanakan guna menghabiskan anggaran, festival akhirnya hanya diikuti oleh enam kabupaten, yakni Kabupaten Poso, Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong dan Kotamadya Palu. Festival kali ini merupakan festival dengan peserta paling sedikit sejak dilaksanakannya Festival Danau Poso. Selain itu pelaksaan festival tidak memperhatikan musim hujan yang datang setiap bulan September-November setiap tahun yang dipastikan mempengaruhi pelaksanaannya.

Setengah hati kedua, penataan lokasi festival terbilang buruk. Bukan hanya dikarenakan musim hujan yang menimbulkan becek dimana-mana tetapi juga penempatan penjual makanan, pakaian dan berbagai jenis jualan lainnya yang tidak beraturan. Dalam kondisi hujan yang terus menerus, got saluran air tidak berfungsi sehingga air tergenang di hampir seluruh lokasi festival. Yang lebih buruk tidak adanya petunjuk dalam bentuk tulisan pamflet, spanduk, yangt menunjukkan bahwa saat itu sedang dilaksanakan Festival Danau Poso. Panggung utama berukuran sekitar 20 x 20 meter yang menjadi pusat pertunjukkan dibiarkan kosong, polos dengan latar kain hitam tanpa tulisan apapun. Hanya terdapat tiga kain berukir dipasang melintang. Sementara di bagian luar festival hanya terdapat satu spanduk iklan rokok. Panggung penonton yang menghadap langsung ke panggung pertunjukkan dibiarkan kotor penuh dengan bekas makanan dan minuman plastik sehingga setiap malam saat pertunjukkan, masing-masing penonton harus menyingkirkan sendiri bekas makanan yang terdapat di kakinya.

Persiapan teknis yang setengah hati diikuti konsep penyelenggaraan festival yang terbilang melupakan inti dari sebuah festival. Pertama, tujuan penyelenggaraan festival disebutkan untuk menarik wisatawan berbanding terbalik dengan agenda utama dalam festival. Kedatangan wisatawan di sebuah daerah pertama-tama disebabkan oleh ketertarikan pada keunikkan budaya, tradisi yang ada.Namun seluruh penyelenggaraan terpusat pada pemilihan putra dan putri pariwisata. Kepala Dinas Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah bahkan memulai promosi pelaksanaan Festival Danau Poso dengan menjanjikan kedatangan Putri Pariwisata Indonesia tahun 2009 dan 2010. Kedatangan Putri Pariwisata ini diharapkan dapat menjadi semangat dan memberi dorongan agar putra putri di Sulawesi Tengah dapat menjadi putri pariwisata di masa yang akan datang. Sesederhana itu capaian Festival Danau Poso. Relevansi kedatangan Putri Pariwisata Indonesia dengan pengembangan nilai-nilai budaya dalam masyarakat sangat mengherankan. Maka, bukannya mengagendakan gelaran budaya yang unik dan khas Sulawesi Tengah, bahkan pertunjukan pesona budaya kabupaten diselingi dengan pertunjukan utama pemilihan putri dan putri pariwisata yang menghabiskan waktu hingga hampir tengah malam ketika penonton terlalu lelah untuk melihat pesona budaya. Terdapat kesan kuat, Festival Danau Poso hanya menjadi ajang pemilihan putra-putri pariwisata.

Tidak heran beberapa turis yang berkesempatan hadir hanya bertahan selama beberapa jam selama pertunjukan berlangsung, memilih pulang untuk mengitari danau Poso. Tidak ada keunikkan yang mengagumkan seperti yang diharapkan atau dijanjikan.

Kedua, pesona budaya daerah selain menjadi tempelan pada kegiatan Festival Danau Poso kurang mengakomodir keunikan budaya daerah karena menghadirkan budaya kontemporer misalnya pagelaran busana daerah yang bukan saja sudah dimodifikasi tetapi mengalami pergeseran fungsi dan makna. Modifikasi pakaian ini mempengaruhi pemaknaan pada relasi sosial masyarakat. Pakaian dari Kabupaten Poso misalnya tidak lagi membedakan perempuan yang telah menikah dan yang belum menikah seperti yang sebelumnya terjadi. Modifikasi juga lebih memperlihatkan model pakaian yang glamour yang kemudian disebut-sebut dapat digunakan di pesta-pesta pernikahan.

Selain itu dero yang ditampilkan dalam pesona budaya kabupaten adalah dero kreasi yang memperlihatkan gerakan-gerakan rumit yang mengabaikan konsep dan makna dero sebelumnya ( catatan kritis tentang dero akan dipublish berikutnya). Satu-satunya yang masih terkesan budaya daerah adalah pertunjukan rakyat dalam bentuk teater dan pertunjukan musik tradisional. Musik bambu yang menjadi musik ciri khas daerah ini bahkan tidak ditampilkan. Alasannya, kurang modern.

Visi misi penyelenggaraan festival bukan saja kabur tapi nyaris tidak ada selain sebuah aktivitas keramaian, ajang pemilihan putri-putrian, yang dilaksanakan di tepi Danau Poso.


Festival Aman yang Tidak Nyaman

Alih alih mendatangkan wisatawan, pendekatan penyelenggaraan festival masih saja menciptakan nuansa teror di wilayah bekas konflik ini. Terdapat kesalahpahaman yang sangat serius yang menyertai keputusan untuk menempatkan puluhan aparat keamanan di wilayah festival. Pemerintah melalui media massa mengkampanyekan bahwa pelaksanaan festival membuktikan bahwa wilayah Poso yang terkenal sebagai wilayah bekas konflik telah aman dikunjungi. Kampanye ini berbanding terbalik dengan tetap ditempatkannya aparat keamanan bersenjata lengkap dan berat di lokasi festival.

Keputusan penempatan aparat keamanan ini berdampak pada dua hal. Pertama, pemeliharaan persepsi tentang daerah bekas konflik komunal yang dilanjutkan dengan pemeliharaan wacana tentang tidak aman tanpa aparat keamanan. Kedua, penempatan aparat keamanan berseragam dan bersenjata lengkap mengingkari nilai lingkar budaya yang menjadi roh festival dimana perbedaan tradisi dan budaya justru memperkaya khasanah budaya di Sulawesi Tengah. Seakan tidak terdapat kebijakan lokal yang mengikat perbedaan budaya dan agama yang mengakar dalam masyarakat.

Hal ketiga yang juga sangat penting adalah keberadaan aparat keamanan menimbulkan ketidaknyamanan bagi para turis. Alih alih bermaksud mengamankan, bagi turis asal Eropa misalnya, keberadaan aparat keamanan dengan senjata berat dan besar yang dibawa kemana-mana menggambarkan teror yang masih menyertai atau ada ketidakamanan. Sangatlah tidak lazim dalam penyelenggaraan festival dimanapun di Eropa termasuk di Indonesia, misalnya di Toraja terdapat aparat keamanan berseragam dan bersenjata lengkap. Seorang turis asal Amerika bahkan mendiskusikan dengan serius penempatan aparat keamanan. Menurutnya, agak aneh cara pemerintah daerah berpikir membangun dan mengkampanyekan wilayahnya sebagai tujuan wisata dengan penempatan aparat keamanan yang berlebihan di lokasi festival. Meskipun berasal dari negara dimana senjata api dijumpai bebas, namun tidak terbayangkan baginya jika berlibur dan mengunjungi lokasi festival yang hanya dipenuhi oleh aparat keamanan berseragam dan bersenjata lengkap.

Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa puluhan aparat keamanan ini terlihat bukannya berfungsi seperti maksud penempatannya oleh pemerintah, sebaliknya terlihat pentantang petenteng dengan senjatanya baik di panggung maupun di lokasi lain festival, merokok, mengambil foto kiri kanan, melihat dan berbincang (atau membincangkan) santai dengan para wanita. Tidak disiplin dan sebaliknya menawarkan rasa tidak nyaman.

Terdapat persepsi yang terbalik dari paradigma keamanan yang keliru. Rasa aman ditunjukkan dengan diadakannya kegiatan yang dipenuhi aparat keamanan, berbanding terbalik dengan nilai budaya yang seharusnya menjadi roh festival ini. Dimana, aman pasti sudah menjadi bagian dari komitmen masyarakat lokal dalam penyelenggaraan festival ini.

Festival Danau Poso; Pemikiran Ulang

Kata festival mengacu pada sebuah acara yang dilaksanakan untuk merayakan beberapa aspek yang unik dalam masyarakat. Perayaan aspek unik dalam masyarakat ini merupakan bagian dari menguatkan nilai-nilai tertentu dalam komunitas yang biasanya berkaitan dengan nilai keagamaan, nilai sosial. Penguatan nilai-nilai ini dibangun untuk mendapatkan makna kesatuan komunitas tertentu dengan menyadari generasi dalam komunitas yang dinamis dan terus bergerak terutama dalam perkembangan global dan modernisme. Penguatan nilai berjalan bersamaan dengan upaya menginformasikan kepada orang lain mengenai keunikan sekaligus kekayaan nilai yang ada dalam komunitas sehingga bisa menyebarkan gagasan, ide yang ada dalam komunitas.

Kekayaan alam, keindahan panorama, keunikan budaya, keragaman khasanah tradisional juga nilai-nilai kebijakan lokal tak terbantahkan berada di hampir seluruh wilayah di Sulawesi Tengah. Telah berabad lamanya menghidupi dan menjadi dasar bagi relasi sosial dan ekonomi masyarakat. Terdapat konsep-konsep yang kaya dengan nilai pengakuan keberagaman, penghormatan pada kemanusiaan, penghargaan pada alam semesta.Gempuran kapitalisme, modernisme telah secara perlahan namun pasti menggeser, menggusur kearifan lokal yang termanifestasi dalam berbagai kebijakan, termasuk dalam bentuk seni tari, sastra, pakaian dan sebagainya. Meskipun demikian masih terdapat kelompok-kelompok yang berusaha terus menggali dan mempertahankannya.

Festival Danau Poso seharusnya adalah ruang negosiasi masyarakat akar rumput yang difungsikan untuk mengangkat, memperkuat nilai-nilai positif yang mengakar dalam masyarakat. Sementara itu pemerintah propinsi menjadikan Festival Danau Poso sebagai bagian dari program pariwisata, membutuhkan konsep yang cukup kuat dan mengakar menjadikannya khas budaya masyarakat sekaligus mendukung program pariwisata. Dengan kata lain, agar tidak terjebak pada program pariwisata yang tidak hanya menghilangkan inti atau nilai-nilai kebudayaan rakyat diperlukan pemikiran ulang yang serius mengenai konsep Festival Danau Poso.

Pertama, memperhatikan gambaran pelaksanaan festival tahun ini yang terbilang sangat buruk menunjukkan perlunya kerendahan hati dari pemerintah untuk melibatkan masyarakat, terutama para budayawan dalam diskusi-diskusi mulai dari konsep hingga teknis penyelenggaraan yang matang. Konsep festival terutama menggali, mengangkat dan mengkampanyekan keunikan nilai budaya di seluruh wilayah Sulawesi Tengah. Keunikan nilai budaya yang termanifestasikan dalam bentuk seni tari, sastra, tradisi, makanan khas menjadi bagian utama dari keseluruhan penyelenggaraan festival. Kreativitas dalam mengangkat keseluruhannya dalam agenda festival tidak saja membutuhkan kecermatan yang tepat sehingga tidak sekedar menyajikannya dalam bentuk pertunjukkan di panggung sementara nilai di dalamnya hilang. Sementara itu, Danau Poso yang menjadi lokasi pelaksanaan festival memiliki nilai strategis yang sekaligus perlu dimanfaatkan potensi kekayaan alam, keindahan panorama dan lain sebagainya sehingga tidak hanya menjadi sekedar lokasi festival.

Visi misi menjadikan wilayah ini sebagai tujuan wisata seperti yang diinginkan pemerintah membutuhkan konsep yang cukup kuat untuk memberi alasan yang masuk akal bagi para wisatawan lokal dan internasional untuk datang dan tidak hanya itu, juga terlibat. Arogansi pemerintah terhadap penyelenggaraan festival akan memperburuk capaiannya. Pelibatan masyarakat dalam seluruh proses sejak awal merupakan langkah awal mengangkat kembali martabat festival ini sehingga tidak menjadi bahan olok-olokkan para pengunjung. Tidak sekedar mendatangkan para wisatawan, festival kemudian dapat menjadi ruang penguatan kearifan lokal.

Kedua, pelibatan masyarakat harus diikuti dengan paradigma kearifan lokal tentang perdamaian, termasuk tentang keamanan. Sehingga festival juga merupakan ruang silahturahmi yang menakjubkan dari ragam keberagaman dan keunikkan meskipun di daerah pasca konflik. Dengan kata lain, tidak sekedar hendak menunjukkan wilayah Poso sudah dapat menyelenggarakan festival sebagai ukuran keadaan aman, namun juga menempatkan kearifan lokal masyarakat "Sintuwu Maroso" sebagai modal utama dan pertama menjaga keamanan.

Dengan demikian festival dapat menjadi milik rakyat, tanpa mengabaikan tujuan pemerintah. Jika tidak, nasib Festival Danau Poso akan menjadi lebih buruk dari pasar malam.

Sementara itu, dengan mempertimbangkan kenyataan (pesimisme positif) tidak lepasnya program-program pariwisata pemerintah dari sekedar proyek yang sulit (baca: tidak mungkin) menjadi milik rakyat, upaya-upaya merebut ruang-ruang budaya juga harus dilakukan. Pertama, merebut pengakuan bersama terhadap keberadaan budaya masyarakat akar rumput yang memiliki kearifan lokal. Kedua, pengakuan diikuti dengan kajian kebudayaan yang harus menyentuh persoalan sosial ekonomi politik masyarakat akar rumput yang berhadapan dengan perselingkuhan mutakhir kapitalisme dan negara, termasuk mendekonstruksi wajah budaya yang telah dicemari oleh kepentingan ekonomi politik yang menguntungkan segolongan orang. Ketiga, menguatkan gerakan budaya lintas identitas berarti melibatkan seluruh lapisan masyarakat sehingga tidak terjebak pada patronase, feodalisme baru. Keempat, menerjemahkan pengakuan pada keberadaan , kajian dan gerakan budaya dalam sebuah perayaan bersama, pesta rakyat atau festival sebagai salah satu upaya memelihara, menjaga, melestarikan, termasuk mengkampanyekannya dalam dinamika masyarakat yang bergerak cepat; sebagai bagian dari perlawanan struktural terhadap segala bentuk penindasan pada masyarakat akar rumput.

Dengan kata lain, festival adalah sebuah perayaan akan pengakuan pada rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar