Festival Rakyat atau untuk Pemerintah? Catatan Menjelang Festival Budaya Daerah dan Festival Danau Poso

Dua kegiatan yang mengacu pada budaya saat ini sedang diadakan di Kabupaten Poso. Festival Budaya Daerah (FBD), sebelumnya disebut Pekan Budaya Daerah diadakan pada tanggal 25 hingga tanggal 27 Oktober 2010. Sementara, Festival Danau Poso (FDP) diadakan pada tanggal 29 hingga 30 Oktober 2010. FBD diadakan khusus oleh pemerintah Kabupaten Poso yang melibatkan masyarakat dari perwakilan 18 kecamatan di Kabupaten Poso. FDP diselenggarakan oleh pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah yang melibatkan 9 Kabupaten. Kedua festival ini merupakan agenda rutin tahunan pemerintah daerah yang disebutkan bertujuan untuk menarik wisatawan ke wilayah ini. Sebagai agenda rutin tahunan, terdapat anggaran khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan ini. Disebutkan untuk tahun 2010, anggaran Festival Budaya Daerah sejumlah 100 juta. Sementara anggaran Festival Danau Poso belum diumumkan, namun dipastikan mencapai 1 milyar.
Dilaksanakannya dua kegiatan yang mengacu pada kata festival, diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten dan pemerintah Propinsi secara hampir bersamaan setiap tahunnya setidaknya menunjukkan isyarat tentang pentingnya festival tersebut. Namun apa yang paling penting dari sebuah festival? Pertanyaan ini hampir bersamaan dengan pertanyaan lain, untuk siapa festival tersebut diadakan? Catatan ini merupakan bagian dari catatan kritis terhadap penyelenggaraan kedua festival tersebut.


Perayaan?untuk Rakyat?

Kata festival mengacu pada sebuah acara yang dilaksanakan untuk merayakan beberapa aspek yang unik dalam masyarakat. Perayaan aspek unik dalam masyarakat ini merupakan bagian dari menguatkan nilai-nilai tertentu dalam komunitas yang biasanya berkaitan dengan nilai keagamaan, nilai sosial. Penguatan nilai-nilai ini dibangun untuk mendapatkan makna kesatuan komunitas tertentu dengan menyadari generasi dalam komunitas yang dinamis dan terus bergerak terutama dalam perkembangan global dan modernisme. Penguatan nilai berjalan bersamaan dengan upaya menginformasikan kepada orang lain mengenai keunikan sekaligus kekayaan nilai yang ada dalam komunitas sehingga bisa menyebarkan gagasan, ide yang ada dalam komunitas.

Pemahaman tersebut diatas membedakan penamaan festival dengan kegiatan-kegiatan komunitas yang juga melibatkan komunitas masyarakat setempat dan masyarakat lain disekitarnya. Menyimak kembali persiapan festival budaya daerah dan festival danau Poso menunjukkan kata festival menempel begitu saja dalam kegiatan ini, tanpa pemaknaan. Dengan kata lain, harus dilakukan, karena sudah dianggarkan.

Pertama, apa yang dirayakan? Penamaan festival budaya daerah secara jelas menunjukkan adanya perayaan aspek budaya yang unik dalam masyarakat kabupaten Poso. Deretan kegiatan festival budaya daerah seperti pawai budaya, pertunjukan masyarakat adat, lomba moende, parade busana, musyawarah lembaga adat menunjukkan beberapa upaya untuk mendekatkan tradisi dari budaya dahulu untuk dilihat kembali. Namun tradisi-tradisi budaya terdahulu yang ditampilkan kembali (entah sudah dimodifikasi ataupun dipertahankan keasliannya) terkesan hanya bersifat pertunjukan tanpa pengisian makna nilai atas apa yang ditampilkan. Sebuah pertunjukan akan jatuh pada penilaian subyektif mengenai gerak yang simetris, penampilan yang memukau. Kenyataan bahwa terdapat nilai budaya yang menjadi isi dari pertunjukan menjadi tidak penting, bahkan diabaikan.

Sementara itu dalam Festival Danau Poso, kegiatan yang paling menonjol adalah pemilihan putri dan putra danau poso yang pasti akan diikuti dengan peragaan busana. Pasar malam juga adalah suasana yang paling menonjol dalam festival danau poso. Kata Danau Poso yang melekat pada kata festival menjadi tidak relevan, selain bahwa kegiatan ini diadakan di tepi Danau Poso. Aspek unik Danau Poso menjadi tidak penting selain menunjuk sebuah lokasi tempat diadakannya kegiatan.

Lalu apa yang dirayakan dalam festival?

Kedua, menguatkan nilai mengkampanyekan budaya. Jika terdapat kebingungan menjawab apakah yang dirayakan dalam festival budaya daerah dan festival Danau Poso, maka hal kedua yakni penguatan nilai-nilai dalam komunitas juga menjadi tidak jelas. Padahal penguatan nilai-nilai budaya dalam komunitas masyarakat Poso sangat penting terutama berkaitan dengan konteks masyarakat pasca konflik dan tantangan modernisasi, kapitalisme yang sudah merasuk, mempengaruhi, membentuk budaya masyarakat yang semakin menjauh dari nilai Sintuwu Maroso yang selama ini tetap menjadi slogan Kabupaten Poso. Sebagai masyarakat pasca konflik, nilai kebersamaan yang mewujud dalam tradisi mesale, mosintuwu, nosiapale dan biasanya diterjemahkan dalam bentuk tarian, sastra, dan sebagainya kurang mendapatkan tempat dalam festival ini. Demikian pula dalam konteks masyarakat yang berhadapan dengan eksploitasi sumber daya alam di berbagai tempat di seluruh kabupaten di Sulawesi Tengah, kearifan lokal tentang tanah yang diharapkan membudaya dan menjadi dasar ketahanan masyarakat tidak penting apalagi dibicarakan. Padahal sejarah perkembangan budaya di Kabupaten Poso pada khususnya dan Propinsi Sulawesi Tengah pada umumnya melukiskan beberapa suku memiliki nilai-nilai penting dalam mempertahankan tanah dan kedaulatan wilayahnya.

Seorang petinggi Dinas Pariwisata Kabupaten Poso dengan berani mengusulkan agar kegiatan Festival Budaya Daerah dilaksanakan satu hari saja. Usulan ini kemudian dilanjutkan dengan rapat “serius” yang membahas penginapan, soundsystem, akomodasi peserta. Sementar jenis kegiatan, mengapa jenis kegiatan tersebut yang menjadi bagian dari sebuah festival tidak dianggap penting untuk dibicarakan. Mimpi tentang festival yang menggangkat kearifan lokal, penguatan nilai budaya yang harmonis, menghargai keberagaman dan berpegang pada kedaulatan untuk rakyat menguap, hilang.

Ketiga, tanggal dan bulan pelaksanaan festival turut menentukan capaian kegiatan. Pemerintah daerah dan propinsi menyebutkan penyelenggaraan festival merupakan bagian dari upaya mendatangkan wisatawan dalam dan luar negeri. Dengan kata lain festival budaya daerah dan Festival Danau Poso diharapkan dapat memperkenalkan kekayaan budaya kepada pihak lain sehingga mendatangkan ketertarikan untuk mengunjungi wilayah ini. Sayangnya, pelaksanaan festival tidak memperhatikan kalender tahunan kunjungan wisatawan dan lebih menggantungkan pada kalender politik di daerah dan propinsi.

Pelaksanaan Festival Budaya Daerah tahun lalu misalnya dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan legislatif. Hal ini dengan tepat telah dimanfaatkan oleh para calon legislatif khususnya keluarga pemimpin daerah untuk memperkenalkan keluarganya yang juga calon anggota legislatif DPR RI. Pelaksanaan Festival Budaya Daerah tahun ini bukan cuma melewati bulan kunjungan wisata yakni bulan Juli dan Juni tetapi juga dilaksanakan menunggu agenda politik pemimpin daerah kabupaten dan propinsi. Ditundanya pelaksanaan FBD dan FDP berulangkali disebut karena menunggu agenda pimpinan daerah dan propinsi. Alhasil, kedua festival bukan saja kosong pada pemaknaan tapi juga kehilangan moment kunjungan kunjungan wisata dan masa liburan anak-anak sekolah yang dipastikan menjadi pengunjung utama festival. Lalu pada siapa penyelenggaraan festival ini ditujukan? Yang jelas dana penyelenggaraan kedua festival ini tetap mengalir. Karena festival harus diadakan. Karena sudah dianggarkan. Bukan karena festival itu penting.


Festival untuk Pemerintah?

Sebuah festival, apalagi disebut sebagai Festival Budaya Daerah dan Festival Danau Poso, adalah sebuah ruang besar bagi komunitas, bagi masyarakat untuk pertama-tama menggali dan mengekspresikan nilai budaya yang dianut, mengkampanyekan untuk memperluas gagasan. Pada akhirnya kepentingan utama sebuah festival adalah bagi pengembangan dan penguatan masyarakat lokal.

Ketika Festival Budaya Daerah dan Festival Danau Poso menjadi program rutin pemerintah, terdapat setitik harapan festival akan menjadi ruang-ruang negosiasi sosial budaya dan politik yang menempatkan keterlibatan penuh masyarakat. Pelakunya adalah masyarakat, diorganisir oleh masyarakat, ditujukan untuk masyarakat. Kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya.

Pertama, penyelenggaraan festival kurang melibatkan masyarakat di wilayah dimana akan diadakan festival. Kegiatan ditangani oleh orang-orang pemerintahan yang mengikuti konsep atasan. Jika pimpinan mengerti tentang nilai kebudayaan dan konsep festival, hal ini akan memudahkan. Sayangnya lebih banyak yang tidak mengerti sehingga pelaksanaan festival menjadi seperti pesta pasar malam yang menempelkan beberapa aktivitas seni.

Hal ini berdampak pada hal yang kedua, yakni aktivitas atau kegiatan dalam festival yang kurang mendapat respon dari masyarakat sekitar penyelenggaraan kegiatan. Ini tampak pada kurangnya pengunjung pada hari pertama pembukaan, bahkan banyak diantara masyarakat di sekitar Danau Poso yang tidak tahu jika ada penyelenggaraan Festival Budaya Daerah dan Festival Danau Poso.

Ketiga, tidak diakuinya beberapa aspek keunikan dalam komunitas masyarakat di sekitar penyelenggaraan kegiatan maupun komunitas peserta yang mengikuti festival. Tidak diakuinya komunitas ini terlihat jelas pada jejeran pameran budaya di festival. Bukannya menampilkan kuliner khas daerah, seperti sagu, binte, sogili, beko, kaledo dan lain-lain, stand-stand makanan memamerkan makanan siap saji ala eropa. Lebih miris lagi ketika stand-stand pameran pakaian dipenuhi oleh pakaian dengan brand image eropa dan amerika. Para pemilik stand kemudian hanyalah kelompok-kelompok yang memiliki modal lebih banyak daripada masyarakat biasa yakni para nelayan di tepi Danau Poso, para petani dan buruh tani.

Festival ini masih berharap menjadi milik rakyat?Perjuangan untuk itu harus dimulai dengan pertama-tama mengkritisi konsep budaya dalam konteks masyarakat pasca konflik dan dalam kenyataan dihadapkannya masyarakat dengan perkembangan modernisasi, kapitalisme yang menggusur bukan hanya tanah tapi juga budaya harmoni, yang meletakkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Ini diikuti dengan membincangkan kembali konsep festival yang dapat mengakomodir kepentingan rakyat, dan dengan demikian melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan, pelaksanaan. Hanya dengan demikian festival ini menjadi milik rakyat. Jika tidak, baik Festival Budaya Daerah maupun Festival Danau Poso hanya akan menjadi ajang rutin yang berpotensi korupsi (karena tidak transparannya pendanaan, dan karena asal menghabiskan anggaran), menjadi milik pemerintah, atau sekelompok orang yang memiliki modal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar