Sintuwu (Masih) Maroso


Konon katanya, ketika pertama kali A.C Kruyt, seorang misionaris Kristen datang ke Tana Poso, dia pertama-tama menemui seorang Ulama Muslim, Baso Ali (sekarang merupakan keturunan Odjobolo). Pertemuan keduanya berlangsung hangat dan menyepakati hal strategis yang kemudian mempengaruhi wilayah Tana Poso saat ini. Diceritakan bahwa Baso Ali mengarahkan A.C. Kruyt untuk menjalankan misinya ke wilayah pedalaman dan pegunungan karena di wilayah pesisir telah lebih dulu berkembang ajaran Islam. A.C. Kruyt bukan hanya menyetujui tapi juga menjadikan pertemuan awal mereka sebagai sebuah tanda keharmonisan yang terus terjaga selama masa-masa awal ketika kemudian Poso menjadi sebuah distrik khusus dibawah pemerintahan kolonial Belanda.

Pada tahun-tahun berikutnya ketika masyarakat  berdiam di  Tana Poso, terdapatlah beragam suku bangsa, berbagai agama, dan berkembanglah adat istiadat. Ketika Kabupaten Poso  secara resmi menjadi Kabupaten melalui peraturan PP No. 33 Tahun 1952 tentang pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah, Sintuwu Maroso disebut sebagai pernyataan yang mewakili semangat berdirinya Kabupaten Poso. Sintuwu Maroso berarti  bersatu kita kuat. Setidaknya terdapat tiga hal yang memaknai bersatu kita kuat atau Sintuwu Maroso ini, yaitu  hidup saling menghargai (tuwu mombetubunaka), hidup saling menghidupi (tuwu mombepatuwu), dan hidup saling menolong (tuwu mombesungko). Dengan demikian, sejak awal berdirinya Kabupaten Poso telah disepakati bahwa meskipun masyarakat Tana Poso berbeda-beda tetapi akan bersatu, karena hanya dengan bersatu maka kita kuat.


Pertemuan antara dua tokoh utama dalam sejarah Tana Poso, yaitu Baso Ali dan A.C. Kruyt, telah meletakkan dasar awal dari semangat Sintuwu Maroso seperti yang kemudian menjadi semboyan utama Kabupaten Poso.  Ada kesadaran bahwa meskipun berbeda tetapi keduanya bekerja bersama melalui cara masing-masing (baca: misi) untuk memajukan Tana Poso. Hal ini tercermin pada pertemuan awal mereka yang jauh dari pertumpahan darah seperti yang biasanya terjadi di berbagai wilayah lainnya. Keduanya telah menggambarkan sejarah bagaimana bersatu kita akan kuat. Bahwa, meskipun berbeda, tetapi kita bersatu, kita kuat. Semangat Sintuwu Maroso ini kemudian dikembangkan dalam berbagai adat istiadat yang hingga sekarang masih dipegang. Posintuwu, misalnya, yaitu saling menghidupi saat duka atau suka melalui sumbangan materi maupun moril.

Sejarah telah meletakkan dasar yang kuat bagi keharmonisan di Tana Poso. Lalu, bagaimana perkembangannya dalam masa modern ini? Masihkah nilai-nilai Sintuwu Maroso ada? Tahun 1995, ketika saya masih SMU, saya melakukan penelitian dalam rangka mengikuti Karya Ilmiah Remaja, waktu itu dengan topik Kenakalan Geng Remaja. Saya bertemu dengan banyak anggota geng dan beberapa ketua geng yang terkenal di wilayah-wilayah yang disebut-sebut menakutkan. Pada tahun-tahun tersebut tercatat bahwa setiap tahun anggota geng remaja selalu terlibat perkelahian remaja, beberapa diantaranya mengakibatkan kematian. Yang mengherankan (kemudian menjadi fokus analisa saya saat itu) penyebab perkelahian adalah hal sepele, bukan hal ideologis. Cemburu, merasa wilayah daerahnya diambil alih tanpa “permisi” , merasa harga dirinya diinjak-injak (meskipun alasan ini juga tergantung perasaan yang menuduh) atau salah paham, menjadi alasan utama perkelahian. Tidak pernah agama dijadikan alasan perkelahian. 

Ketika konflik Poso terjadi pada tahun 1998 dan disebut-sebut perkelahian pemuda menjadi pemicunya, tidak seorangpun menduga agama kemudian diseret-seret seumpama bensin yang menyiram emosi dan mengaitkan semua orang dalam peristiwa kekerasan yang berdarah. Meskipun kemudian kelompok-kelompok keagamaan disebut-sebut terlibat pada awalnya, saya masih berpegang pada pengalaman saya bertemu dan mengalami bersama perbedaan agama dan suku tanpa mempermasalahkannya, sama seperti ketika alasan geng remaja berkelahi, tidak dikaitkan dengan masalah agama yang melekat pada diri seseorang. Belum lagi cerita-cerita yang saya dapatkan dari banyak lokasi pengungsian di Poso, Tentena dan Palu yang menggambarkan bagaimana pengungsi Kristen, Islam saling membantu dan menolong meskipun berbeda agama dan suku. Bahkan, meskipun media massa ramai menyiarkan Poso adalah konflik agama, masyarakat akar rumput bekerjasama meminimalisir dampak yang diakibatkan dalam konflik Poso. Hal yang sama terjadi pasca konflik kekerasan, ketika masyarakat akar rumput Posolah yang pertama-tama, baik Muslim, Kristen, Hindu dari berbagai suku bekerjasama menata kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Meskipun isu terorisme masih jadi isu keamanan tetapi masyarakat akar rumput sendiri tidak terlalu terpengaruh apalagi terprovokasi untuk menjadikan isu agama atau suku.  Seorang ibu pernah mengatakan “ pasca konflik kemarin, ikatan kekeluargaan kita semakin kuat. Semacam ada ketakutan kalau kita terpecah lagi. Dulu kita terpecah karena orang lain, dan kalau kita terpecah, seluruh badan kita bahkan hidup kita yang sakit” 

118 tahun Kabupaten Poso, Sintuwu (masih) Maroso. Penggalan kata masih dalam Sintuwu dan Maroso hendak menggambarkan pengalaman tersebut di atas. Pertama, kita pernah mengalami dan merayakan perbedaan serta tetap kuat, kita pernah terpecah, tetapi kita cepat bangun bersama membangun kembali kesepahaman. Cerita yang tidak pernah diceritakan di media massa tetapi dialami bersama adalah buktinya. 15 tahun pasca konflik Poso, dalam sejarah 118 tahun Sintuwu Maroso masyarakat Poso, Islam, Kristen, Hindu dan dari berbagai suku agama telah bekerjasama bersama menata Kabupaten Poso, tidak lagi tersegrasi berdasarkan agama apalagi suku. Namun, kata masih mengindikasikan adanya tantangan yang dapat memecah Sintuwu Maroso.  Gambaran tersebut di atas menunjukkan bukan lagi atau tidak pernah karena perbedaan agama dan suku yang menjadi pemecah Sintuwu Maroso. Merujuk makna Sintuwu Maroso bahwa bersatu untuk kuat itu diwujudkan melalui sikap saling menghargai, menolong dan menghidupi maka indikasi untuk memecah Sintuwu Maroso adalah sikap masyarakat yang tidak lagi saling menghargai, tidak saling menolong atau tidak saling menghidupi. Pertama, tentu perlu keseriusan pemerintah dalam merencanakan pembangunan dengan semangat Sintuwu Maroso. Pembangunan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat adalah pembangunan yang menempatkan makna menghidupi masyarakat berdasarkan hak-hak masyarakat sehingga harus memastikan hak masyarakat tidak dikorupsi; pembangunan yang meletakkan sifat gotong royong sebagai dasar untuk tumbuh dan berkembang bersama, bukan mementingkan kemajuan sendiri-sendiri. Sayang memang, 15 tahun pasca konflik Poso justru tidak menunjukkan pembangunan Kabupaten Poso yang memiliki konsep Sintuwu Maroso. Sebagian besar pembangunan yang dilakukan pasca konflik justru berpotensi konflik baru. Misalnya kebijakan mendatangkan investasi yang tidak disertai kesiapan sumber daya lokal, selain eksploitasi sumber daya alam yang tidak menghargai kearifan lokal.


Kedua, pentingnya mengembangkan sikap menghargai kebudayaan Poso sebagai modal untuk   perkembangan modernisasi yang mendesak perilaku yang mementingkan diri sendiri cenderung  mengabaikan semangat Sintuwu Maroso. Bukan hanya sikap sosial tetapi pembangunan juga mengacu pada penghargaan kebudayaan Poso, salah satunya adalah dikembangkannya situs-situs sejarah dan situs budaya , juga nilai-nilai budaya yang relevan dalam pengembangan karakter manusia Poso yang Sintuwu Maroso. Ini sebuah tantangan, modernisasi telah menyeret kehidupan orang Poso perlahan meninggalkan konsep hidup Sintuwu Maroso. Namun cerita diawal dan ditengah tulisan ini menggambarkan masih ada  harapan pada masyarakat akar rumput.

Sejarah awal pertemuan perbedaan seperti yang diceritakan pada bagian awal tulisan ini adalah contoh bagaimana hidup Sintuwu Maroso itu adalah hal yang dapat terjadi, dan tetap bisa terus dipertahankan meskipun kita berbeda. Sintuwu Maroso menjadi modal untuk menyusun dan menata kehidupan masyarakat Poso untuk hidup bersatu dan kuat lebih lama dari 118 tahun, agar tercipta masyarakat yang adil, sejahtera dan damai. 

*Tulisan ini dalam rangka 118 Tahun Poso


Tidak ada komentar:

Posting Komentar