From @Nobodycorp. |
Apa yang diingat
orang setiap tanggal 21 April yang dikenal dengan perayaan Hari Kartini? Kebaya
dan Sanggul. Setidaknya hal ini terlihat dari banyak perayaan Hari kartini yang
seringkali diadakan oleh pemerintah, termasuk oleh ibu-ibu PKK. Kata yang lain
yang mengingatkan orang adalah emansipasi. Emansipasi dimengerti sebagai
memberikan ruang bagi perempuan untuk bisa berpartisipasi aktif dalam
masyarakat. Kedua cara berpikir ini
merupakan ironi besar di Perayaan Kartini.
Gagasan Kartini dikenal setelah
surat-suratnya yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Atas
inisiatif pribadi, Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda,
Mr. J.H. Abendanon, mengumpulkan surat menyurat Kartini dan diterbitkan dengan
judul Door Duisternis tot Licht, atau
dalam bahasa Indonesia berarti “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku yang
diterbitkan pada tahun 1911 merupakan keputusan pribadi Abendanon yang istrinya
merupakan salah satu sahabat Kartini yang dikirimi surat. Door Duisternis tot
Licht cetakan ke-4,
berisi 105 pucuk surat Kartini, yang didalamnya terdapat kutipan dari catatan
harian Kartini, sajak, dan Nota tentang pendidikan dan pengajaran, yang
dimaksudkan untuk dikirimkannya kepada pemerintah Nederland. Dalam kata
pengantarnya, Mr. Abendanon mengatakan bahwa penerbitan surat-surat Kartini ini
adalah “sumbangan bagi perwujudan apa yang diperjuangkan”. Apa yang
diperjuangkan Kartini? Dalam kumpulan surat-surat Kartini ini terdapat dua
pokok pembicaraan Kartini, yaitu : kebebasan perempuan dan pendidikan pribumi.
Kebebasan Perempuan
Kerinduan akan adanya kebebasan perempuan tercermin dalam
surat-surat Kartini kepada sahabatnya Estelle Zeehandelaar dan Ny. Abendanon.
Menjadi perempuan pada jaman Kartini sangat terikat pada sistem patriakhi dan
sistem feodalisme dimana perempuan bukan hanya mahluk nomor dua tetapi
sekaligus budak laki-laki. Perempuan berada dalam lapisan terbawah sebagai
orang yang diperhitungkan setelah lapisan status sosial, status politik, status
ekonomi dan laki-laki. Meskipun sesorang memiliki status sosial, ekonomi dan
bahkan keluarganya memiliki status politik (pejabat), tetapi jika dia adalah
perempuan maka tidak memiliki hak apapun. Tidak punya hak berbicara, tidak ada
hak memiliki pendidikan, bahkan tidak punya hak terhadap tubuhnya sendiri. Kartini
sendiri adalah anak dari seorang bupati Jepara, namun sebagai perempuan,
hidupnya diatur oleh ayahnya.
Pada usia 12 tahun, Kartini dipingit (tidak diperbolehkan
keluar dari rumah) selama 4 tahun. Dalam suratnya, Kartini menjelaskan situasi
itu “Waktu aku berumur dua belas tahun
aku pun dipulangkan ke rumah – aku harus masuk ke dalam “kotak”; aku dikurung
di dalam rumah dan sama sekali terputus hubungan dengan dunia luar, yang tak
boleh kumasuki lagi, kalau tidak di samping seorang suami, seorang pria yang
sama sekali tak kukenal, yang dipilihkan orangtua kami tanpa sepengetahuan
kami. Sahabatku orang Eropa – sebagaimana kudengar di kemudian hari – telah mencoba
berbagai daya untuk mengubah pendirian Ayah agar menarik keputusannya yang
kejam terhadapku, si bocah yang ceria itu, tapi sia-sia usaha mereka –
orangtuaku tiada dapat diubah --, dan masuklah aku ke dalam penjaraku. Empat
tahun panjang-panjang telah kulewatkan dalam kurungan empat tembok tebal, tanpa
melihat dunia luar. Bagaimana aku
lewatkan masa itu aku tak tahu, yang aku ketahui hanyalah bahwa masa itu
mengerikan” (Surat, Jepara 25 Mei
1899, kepada Estella) . Kartini, memahami dengan benar bagaimana nasib
perempuan yang tidak bebas karena pengalamannya sendiri. Seperti dalam penjara,
katanya.
Gagasan tentang
pentingnya kebebasan perempuan berakar pada pandangan Kartini bahwa laki-laki
dan perempuan adalah sama sebagai manusia. Merayakan hari Kartini adalah
merayakan gagasan tentang kesetaraan. Gagasan kesetaraan akan menempatkan
perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, dalam bekerja, bersuara,
berpikir, singkatnya memiliki hak yang sama dalam mengembangkan diri di bidang
ekonomi, sosial , budaya dan politik yang kesemuanya adalah hak asasi manusia.
Kenyataan bahwa sudah ada perempuan yang mendapatkan akses pendidikan, memiliki
posisi politik dalam pemerintahan masih harus dihadapkan dengan kenyataan masih
banyaknya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Masih banyaknya kekerasan terhadap perempuan
dan anak berakar pada pandangan yang bias gender terhadap perempuan bukan
sebagai manusia tetapi mahluk yang dapat dirusak tubuh dan hidupnya, karena itu
kekerasan seksual (misalnya) adalah kejahatan kemanusiaan bukan sekedar
kejahatan asusila. Dalam hal inilah merayakan hari Kartini adalah juga sebuah
peringatan tentang perjuangan untuk kebebasan perempuan masih harus
diperjuangkan.
Kebaya dan sanggul telah memlintir, memutarbalikkan gagasan Kartini
tentang kebebasan perempuan; tentang pendidikan bagi jalan kebebasan. Alih-alih
hendak meneruskan gagasan Kartini, perayaan yang demikian hanyalah permukaan
saja yaitu meniru gaya berpakaian Kartini (berkebaya dengan rambut disanggul).
Padahal, berkebaya dengan rambut disanggul pada jaman Kartini adalah
simbol bagaimana perempuan diatur dan
dimiliki oleh laki-laki. Kebaya secara filosofis mengatur gerak-gerik perempuan
untuk tidak bebas; sanggul melambangkan kesopanan dan ketaatan perempuan pada
aturan-aturan yang dibuat oleh sistem patriakhi. Dengan kata lain, merayakan
Hari Kartini dengan kebaya dan sanggul saja secara tidak langsung mengkhianati
gagasan Kartini yang ditulisnya dalam surat-suratnya: kesetaraan, emansipasi.
Pendidikan adalah Pembebasan
Pendidikan adalah pintu bagi kebebasan. Kira-kira demikian
pandangan Kartini yang kemudian memotivasinya untuk sedapat mungkin mendapat
akses pendidikan hingga harus susah payah membujuk ayahnya. Kartini memang
kemudian mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan Sekolah Rendahan
(sekarang setingkat dengan Sekolah Dasar – SD). Akses pendidikan yang dipunyai
oleh Kartini ini pertama-tama karena pamannya, Ario Tjondronegoro yang saat itu
Bupati Demak, serta ayahnya, R.M. Adipati Sosroningrat adalah pejabat yang
menyadari kekuatan utama kemajuan suatu bangsa adalah ilmu pengetahuan sehingga
secara sengaja memberikan akses pendidikan pada anak-anaknya, termasuk Kartini.
Sangat sulit mendapatkan akses pendidikan saat itu, terutama perempuan selain
karena tidak berhak juga karena perempuan hanya diharuskan untuk mempersiapkan diri untuk dinikahi. Kesulitan
untuk mendapatkan pendidikan bukan hanya datang dari kolonial Belanda tetapi
juga oleh para pejabat saat itu.
Kartini dalam Nota menyebutkan “…orang Jawa, terutama kaum aristokratnya, bagi dirinya lebih suka
dihidangi nasi putih di atas meja makannya, tapi tak rela melihat orang lain
demikian juga; bagi orang lain dianggapnya nasi merah sudah lebih dari cukup.
“pertahankan kebodohan khalayak ramai, orang pun akan tetap berkuasa atas
mereka!” demikian semboyan banyak, kebanyakan pejabat tinggi yang makan hati
melihat orang lain juga berusaha mendapatkan ilmu dan pengetahuan”( Nota,
Jepara, Januari 1903). Nota yang
ditulis Kartini ini menggambarkan adanya ketakutan , baik oleh kolonial maupun
para pejabat tinggi yang diangkat oleh kolonial saat itu, jika rakyat
kebanyakan mengenyam pendidikan maka mereka akan memiliki kemerdekaan. Apalagi
jika itu perempuan.
Kartini dalam usianya yang sangat muda yaitu 21 tahun ketika
mulai menuliskan surat-suratnya, telah memberikan gagasan pentingnya pendidikan
sebagai sebuah kekuatan bahkan sumber kekuasaan. Karena itu pula, saat selesai
bersekolah di Sekolah Rendahan (yang dalam pengakuan Kartini merupakan kenangan
hidupnya yang terindah) Kartini berinisiatif untuk mencari sumber-sumber bacaan
yang bisa memperkaya pengetahuannya. Pengetahuan menurut Kartini akan
membebaskan pikiran manusia yang dibelenggu dan diperbudak oleh orang yang
memiliki pengetahuan. Penundukkan dan kepasrahan untuk ditindas dan
didiskriminasi adalah karena ketidaktahuan dan kebodohan. Saat itu tidak ada
radio yang memberikan informasi-informasi, tidak ada perpustakaan apalagi tokoh
buku. Kartini menggunakan semua jenis bacaan yang memberikan pengetahuan-pengetahuan
baru: majalah, koran, buku, dari hal-hal
utama sampai iklan, dan – peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan
pemerintah jajahan. Pendidikan, bagi Kartini, membukakan berbagai kemungkinan
bagi perempuan untuk memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Pendidikan bagi
perempuan menempatkan perempuan dapat setara dengan laki-laki dalam
memperjuangkan hidupnya. Pendidikan, bagi Kartini adalah untuk semua kelas
sosial, juga untuk perempuan.
Merayakan
Hari Kartini adalah merayakan terbukanya akses pendidikan terhadap perempuan
yang memberikan ruang bagi perempuan untuk maju dan berkembang. Karena itu pula
merayakan Hari Kartini menegaskan penting dan mendesaknya melanjutkan gagasan
pendidikan untuk perempuan. Salah satu
bukti kemajuan perempuan adalah keterlibatan perempuan secara aktif dalam
kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, bukan sebagai pelengkap atau
memenuhi kuota saja tetapi dapat memiliki posisi strategis pengambil keputusan.
Dalam hal ini kata emansipasi merujuk
pada partisipasi aktif perempuan dalam posisi yang penting segala bidang,
meninggalkan jauh kebelakang pendapat bahwa tugas perempuan hanya di dapur atau
melayani suami.
Emansipasi,
jika dimaknai sebagai memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berperan
aktif dalam masyarakat juga telah menghilangkan makna kemanusiaan. Yaitu, bahwa
perempuan memiliki peran aktif dalam masyarakat bukan karena diberikan
kesempatan tetapi karena itu adalah haknya sebagai manusia, hak asasi. Demikian
halnya kesetaraan bukan pemberian, tetapi hak sebagai manusia perempuan.
Kartini dengan terang-terangan pernah mengutip Max Havelaar untuk
menggambarkannya “ Tugas manusia adalah menjadi manusia”
Kartini Masa Kini
Merayakan Kartini adalah
merefleksikan kembali gagasan-gagasan Kartini tentang kebebasan perempuan dan
pendidikan sebagai pintu kebebasan. Jika kenyataannya kekerasan terhadap
perempuan dan anak masih sering terjadi, maka merayakan Hari Kartini adalah
sebuah momentum untuk membebaskan perempuan dan anak-anak dari kekerasan. Demikian
pula jika akses pendidikan bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin,
terutama lagi para perempuan masih sulit dan dibatasi, maka merayakan Hari
Kartini adalah membangun sebuah gerakan kesadaran pendidikan kritis bagi
perempuan, bagi masyarakat untuk bisa memerdekakan mereka dari ketertindasan,
diskriminasi termasuk dari penjajahan modern (kapitalisme). Dengan begitu,
tepatlah judul yang diberikan pada kumpulan surat-surat Kartini , habiskanlah gelap karena kebodohan, terbitkanlah terang
pembebasan, kemerdekaan manusia, perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar