Menggelar Teror Terorisme


Setidaknya 6 kali kata-kata ini diucapkan oleh petugas polisi selama saya dalam perjalanan dari Poso ke Palu. Dalam dua hari terakhir, kawan yang lain menceritakan, dirinya diperiksa hingga 20 kali dalam perjalanan dari Luwuk ke Palu. Pemeriksaan yang ketat ini memiliki satu alasan pasti, mencegah aksi terorisme menjelang eksekusi Amrozi Cs. Begitu seliweran komentar orang. Tetapi Kapolda Sulteng, Brigjen Suparni Parto, mengatakan: “ Gelar Cipta sejak 1 november ini adalah operasi sekaligus pra kondisi jelang perayaan Natal dan Tahun Baru yang diprediksikan angka kriminalitas dan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat akan meningkat” tanda-tanda tentang kerawanan kan sudah nampak, seperti aksi teror yang beberapa waktu belakangan ini terjadi. Makanya aktifitas (operasi rutin) yang kita telah laksanakan, intensitasnya lebih ditingkatkan”

Maka, meskipun anggota Polri Poso sudah terdiri dari 1400 personil, pada akhir bulan Oktober, dua kompi yang terdiri atas 200 personil Polri dari kesatuan Brimob dan Samapta Polda Sulawesi Tengah tiba di Poso. Kompi ini akan berada di bawah kendali operasi Polres Poso, memperkuat pengamanan di perbatasan Kabupaten Poso dengan Kabupaten Parigi Moutong dan perbatasan Kabupaten Poso, serta Provinsi Sulawesi Selatan. Keberadaan pasukan ini ditambahkan dengan 300 personil TNI. Keberadaan mereka menurut Kapolres akan memberikan rasa aman terhadap masyarakat serta memperkecil ruang gerak para pelaku teror yang telah sempat beraksi di dua desa di kecamatan poso pesisir utara pada 29 dan 31 oktober sebelumnya. Personil Polisi dan Tentara ini ditempatkan di lokasi-lokasi yang dianggap rawan, termasuk gereja, pura. Anehnya, mesjid tidak dijaga.

Dari berbagai pola penempatan aparat keamanan, yang paling kelihatan adalah asumsi penempatan aparat keamanan selalu dimulai dengan aktivitas kekekerasan yang dirangkaikan selalu dalam lingkup aktivitas keagamaan, atau peristiwa yang dianggap merepresentasikan keagamaan tertentu. Secara langsung, hal ini mempengaruhi persepsi masyarakat tentang konflik Poso dan pasca konflik Poso, memelihara wacana konflik Poso sebagai konflik agama dan pada akhirnya mempengaruhi daya kritis masyarakat terhadap penempatan aparat keamanan yang mengikuti berdirinya berbagai instalasi militer. Penempatan mereka di berbagai instalasi militer tersebut.

Itulah sebabnya, terdapat kesan yang serius bahwa kehadiran aparat keamanan yang berulang-ulang datang, dan datang lagi menunjukkan keseriusan aparat keamanan menangani kasus Poso pasca konflik. Sayangnya, berbagai upaya untuk memusnahkan peledak atau bahan peledak yang ditemui, membakar senjata api, termasuk menangkapi mereka yang masuk dalam DPO selalu berulang dan berulang-ulang dikerjakan. Toh, masih ada terror bom. Toh, masih ada kekerasan. Jika demikian, dimana kelirunya? Apakah penempatan aparat keamanan menjadi efektif atau legitimasi pasca penempatan mereka yang lebih efektif?

 Saturday, November 8, 2008 at 10:44am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar