Katanya:"Saya ingin menjadi Presiden..!"

 Oleh  :  Lian  Gogali

Umurnya 21 tahun. Ayah ibunya pernah menjadi tahanan politik Junta Myanmar saat usianya 18 tahun, dan hingga saat ini belum bertemu lagi. Dalam usianya yang masih muda, memutuskan menjadi guru relawan bahasa inggris di sekolah khusus anak-anak pengungsi di wilayah Mae Sot, perbatasan Thailand dan Myanmar. Saya mengenalnya dalam pertemuan yang singkat tetapi sangat berkesan. Dalam percakapan singkatnya dengan saya, Na (singkatan namanya) mengatakan dalam pelajaran bahasa Inggris secara khusus dia memilih mengajar pelajaran sejarah. Menurutnya pelajaran sejarah sangat penting karena: pertama, setiap anak-anak pengungsi harus mengetahui sejarah hidup mereka (mengapa mereka berada di sini; siapa diri mereka). Kedua, mengetahui sejarah hidup bisa mengajarkan mereka untuk berjuang sekaligus melawan. Pilihan melawan apa dan siapa, anak-anak itulah yang akan menentukan hidupnya. Anak-anak yang lahir di kamp pengungsian di perbatasan Myanmar dan Thailand, tidak diakui kelahirannya oleh kedua negara tersebut. Anak-anak yang tidak memiliki kartu tanda lahir , dari salah satu dari dua negara itu. Mereka adalah orang-orang yang tanpa tanah air, tanpa negara, akhirnya tanpa orang tua, lalu mereka adalah diri mereka sendiri. Sejarah mereka bagaikan puzzle yang serakannya harus dicari, ditemukan baru bisa menatanya. Dalam kesejarahan itu mereka berjuang menjalani kehidupan. Dan karena itu pula, menurut Na, generasi anak-anak tanpa tanah air itu menjadi generasi yang kuat dan memandang kedepan. Tegasnya, menurut Na, mereka menyusun dan memiliki mimpi tentang masa depan!

Hari ini saya menerima email Na, bercerita tentang seorang anak didiknya yang orangtuanya meninggal entah dimana, mendatanginya dengan wajah lugu, tegas ketika mengatakan: “saya ingin menjadi presiden! bagaimana caranya?”

Hari ini pula, sore hari, saya bersama kawan Atun mengantarkan anaknya berenang di tempat renang umum di salah satu hotel di Palu. Saya melihat sepasang muda-mudi dikolam renang. Pacaran sangat asyik..tidak memperdulikan sekelilingnya, pegangan dan ciuman (menurut kawan saya lebih dari itu). Bahkan mereka tidak menghiraukan pandangan mata anak-anak kecil berusia 4-10 tahun yang juga ada di kolam renang yang sama memperhatikan mereka. Kebingungan. Sangat asyik. Mereka pasti juga tidak peduli apakah Amrozi Cs sudah dieksekusi mati atau belum, apalagi apakah mereka harus memilih menolak hukuman mati atau pro. Pasti tidak pusing darimana uang yang dipakai untuk membayar kolam renang untuk bisa pacaran dengan gaya seperti itu. Tidak peduli apakah lampu PLN akan menyala normal setiap hari, tidak akan pusing bila Poboya jadi ditambang. Hah, apalagi mikir berapa pengungsi di wilayah Kabupaten Poso dan sekitarnya yang diam di pondok berukuran 6 x 4, ditanah yang dipinjam. Asyik masyuk.

Tapi, saya miris. Meringis. Tidak ingin pesimis, ini wajah generasi tanpa impian, selain yang asyik-asyik saja.

Tidak akan pesimis.

Hari ini, ketika membaca email Na, saya merenung. Di belahan dunia sana, di sudut wilayah sana, ada anak kecil berkata: ….

Untuk mereka!

 Sunday, November 9, 2008 at 7:07pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar