Pasar Malam di Festival Danau Poso

Oleh  :  Lian Gogali

“Itu pasar malam”gerutu seorang kawan. ”Kalau bukan pasar malam, FDP hanya seperti keramaian yang dipindahkan di tepi Danau Poso” sambung yang lain. “sialnya,biayanya dari pemda, eh rakyat..”Ini gerutu resmi dari berbagai obrolan dengan berbagai pihak.

Awalnya sejak pertama kali dibuka, tidak ada niat saya untuk menengok ke obyek yang diobrolin. Saya masih sangat mengingat dan cukup trauma dengan kata festival yang dilekatkan pada tahun lalu dalam moment yang sama ketika kenyataannya saya hanya menemukan bangunan-bangunan kosong, lesehan jualan para pedagang mainan anak-anak dan baju-baju dan pengunjung yang bisa dihitung jumlahnya; kosong. Ini bukan penasaran tapi nekad, memutuskan mengunjungi lagi, berharap menemukan perbedaan yang bisa memberi makna pada kata festival, atau setidaknya pada kata Poso.

Well, memang ada perbedaan. Keramaian. Pertama,penjual pakaian mulai dari anak-anak hingga orang dewasa lebih banyak dan dalam jumlah yang lebih besar sehingga membuat tenda yang besar, dan melebar ke bawah rumah panggung.Juga, lebih banyak penjual makanan, yah bakso, binte, mie, nasi rames. Para penjual makanan bahkan melebar hingga ke luar jalan-jalan menuju lokasi. Kedua, pengunjung lebih banyak, sekalipun hujan deras. Para pengunjung meramaikan tenda-tenda penjualan pakaian, makanan.Ketiga, pengunjung boleh parkir dimanapun mereka suka. Saat memasuki wilayah parkir, petugas parkir meminta sewa parkir dan mempersilahkan pengemudi memarkir dimanapun mereka inginkan dan dengan cara apapun.Sehingga wilayah festival tidak hanya diramaikan oleh seliweran pengunjung tapi juga motor, mobil malang melintang disepanjang jalan.Keempat,...(saya tidak menemukannya meski sudah mencari-cari bermaksud menambah-nambah)

Tentu saja ada kesamaannya. ”ini kegiatan Propinsi” demikian celutukan wartawan di Poso yang ditanyai mengapa tidak meliput Festival Danau Poso. Lalu, lengak-lengok para putri-putri dan putra-putra kemudian diberi gelar Putri Putra Danau Poso,dan saya berani bertaruh pasti putra-putri yang cantik,cakep itu tidak tahu bahwa Danau Poso (yang melekat pada gelar mereka) sekarang sudah menurun debet airnya dan sudah tercemar, atau yang paling sederhana saja berapa luasnya, bagaimana terbentuknya, berada disekitar desa-desa yang bagaimana, apalagi bagaimana nasib ikan sogili yang khas itu di danau.Kesamaan yang lain, musik. Ini yang paling ramai dan tidak hentinya menemani para pengunjung. Lagu-lagunya pun mentereng, selera luar negeri dan pop nasional. Jangan berani tanya lagu-lagu daerah.Pun, yang dimodifikasi. Tari-tarian?oh,adaa…pada bagian khusus yang benar-benar khusus. Kesamaan yang lain yang patut diperhatikan; kehadiran bupati dalam peresmian dan penutupannya meskipun terdapat perbedaan kecil yang penting, kehadirannya disertai oleh anak, para family yang adalah caleg dari sebuah partai (tentu saja partainya seragam dong dengan sang ayah), beberapa diantaranya dipasangkan baliho ucapan selamat datang dengan foto termanis.
Begitu.,
Baiklah, mungkin harus memaksa diri memaklumi bahwa festival ini diadakan pasca konflik kekerasan di Poso (sambil membantah sendiri dalam hati:”bukankah justru karena itu?”). Atau saya harus berhenti memikirkan apalagi menyamakannya dengan Festival Kesenian Yogyakarta.Hmm...ayolah!

Bahkan,
Rasa maklumpun tidak mampu menghentikan kekosongan makna yang terpampang jelas dari Festival Danau Poso.Setahun yang lalu, lokasi tempat pelaksanaan Festival Danau Poso adalah bekas lokasi pengungsian penduduk dari berbagai penjuru wilayah, yang disulap dengan dana milyaran menjadi bangunan-bangunan menyerupai Lobo yang anggun sehingga memasuki wilayah ini tidaklah lagi menjumpai para pengungsi berbaju sederhana yang makan seadanya. Dalam konteks wilayah bekas konflik, festival ini tidak menyempatkan diri memberikan wajah atau sebuah tanda mengenai kompleksitas persoalan pengungsian yang hingga saat ini belum selesai hak keperdataannya, hidup menumpang.Sebaliknya, dengan angkuh, hendak mengatakan: semuanya sudah normal dan baik. Mari kita berpesta. Ada semacam kesadaran yang naif tentang sekitarnya. Hanya sekitar 500 meter dari lokasi penyelenggaraan Festival Danau Poso, puluhan pengungsi di wilayah Later belum mendapatkan kepastian mengenai tempat tinggal. Atau bahwa, keramaian ini (maaf, tidak mau menggunakan kata festival) diadakan ditepi Danau Poso yang memiliki keragaman kekayaan panorama yang cantik dan unik sehingga pantaslah jika ada diantara bangunan-bangunan itu terdapat sedikit saja petunjuk tentang keindahan alam, kekayaan alam di Sulawesi Tengah; Taman Anggrek Alam, Air Terjun Saluopa, Air Terjun Sulewana, Danau Poso, Goa Pamona hingga kekayaan pertanian dan perkebunan (yang menyebabkan para investor berebut masuk merebutnya)

Apa mau dikata.
Kosong (seandainya enggan bilang:mati)

 Monday, December 1, 2008 at 1:56pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar