Sebelum konflik Poso, jika anda memasuki wilayah Kabupaten Poso hingga di perbatasan Kabupaten Morowali, anda akan menemui hamparan sawah, coklat dan kelapa-kelapa yang berjejeran disepanjang pantai. Hijau, menyejukkan mata.
Setelah konflik Poso terjadi, hamparan kehijauan yang anda akan temui tidak lagi bernama sawah, coklat atau kelapa tetapi bangunan-bangunan dan seragam. Hamparan bangunan hijau dan seragam hijau dan coklat di Kabupaten yang panjang wilayah dari Barat ke Timur sejauh 476 km, lebar Utara ke Selatan sejauh 396 km, dengan luas : 8.712,25 km atau 12,81 % dari luas daratan Propinsi Sulawesi Tengah. Bangunan kecoklatan, kehijauan berjejeran, merapat, hanya berjarak belasan km, bahkan ada yang dalam hitungan meter yang bertuliskan: Lapangan tembak KODIM 1307 Poso di Desa Tonipa Poso Pesisir; Markas Komando Brimob Detasemen (Kompi 4 Pelopor) di Moengko Poso Kota Utara; Mess Wirabuana,500 meter dari Mako Brimob Moengko; Kompi Bantuan Yonif 714 SM di Kawua Poso Kota; Yonif 714 Sintuwu Maroso sekaligus lapangan tembaknya di Desa Maliwuko Poso kota Selatan; Tanah rencana pembangunan Brigade Infanteri di Desa Tongko Kecamatan Lage; Tanah rencana pembangunan Pangkalan Angkatan Udara di Desa Labuan Kecamatan Lage; Markas Komando Brimob sekaligus asrama Brimob di Desa Saojo Kecamatan Pamona Selatan; Kompi Bantuan Yonif 714 di Desa Pendolo Kecamatan Pamona Selatan; Polisi Masyarakat (Polmas) di setiap desa di seluruh Kabupaten Poso, dan ….lain-lain (bukan tidak mungkin bangunan coklat atau hijau lainnya akan bermunculan?!).
Bangunan-bangunan ini berdiri disamping rumah-rumah penduduk yang terbakar, terbengkalai, membentuk hutan-hutan kecil, yang sekaligus mengindikasikan penghuninya enggan kembali.Sangat mungkin karena trauma, rasa tidak aman, mendesak mereka untukmemilih pergi dari kampung/desa atau mati.
Di tanah, dimana bangunan-bangunan kecoklatan dan kehijauan tersebut berdiri dahulunya adalah tanah milik warga, tanah-tanah yang diwariskan oleh leluhur atau tanah-tanah yang dengan susah payah dibeli dan telah menghidupi sekian generasi. Konflik kekerasan yang menyebabkan gelombang pengungsian ke luar secara efektif telah menyebabkan nilai tanah menjadi sangat murah bahkan dianggap tidak bernilai. Beberapa pengungsi mengatakan menjual tanahnya seharga Rp.1 juta per hektar karena tidak memiliki harapan hidup lagi di tanah. Tidak ada tawar menawar harga, tidak ada negosiasi. Konflik Poso dengan berbagai pola kekerasannya telah dengan sangat massif menggusur para warga pemilik tanah yang nota bene para petani, wiraswasta kecil, buruh yang tidak memiliki seragam, menggantinya dengan mereka yang memiliki seragam lebih mapan.
Ditanah-tanah, dimana bangunan megah permanen coklat dan hijau itu berdiri, didiami oleh mereka yang datang atas nama pengamanan wilayah konflik. Pun, ketika konflik kekerasan terbuka dinyatakan sudah tidak ada, upaya-upaya untuk pembebasan tanah untuk membangun (lagi) instalasi militer tidak berhenti. Ironisnya (atau aneh?) pemerintah terlibat dalam negosiasi pembebasan tanah. Ini hanya salah satu contohnya. Sudah direncanakan (pastilah sudah lama rencana ini?) bahwa di Desa Tongko akan dibangun fasilitasi instalasi militer, Brigade Infanteri seluas 40 Ha. Pemerintah Kabupaten Poso diminta untuk menyiapkan lahannya. Perancangan lahan dari 40 Ha diubah menjadi 30 Ha, dan berada di wilayah kebun produktif milik warga Tongko dengan ganti rugi Rp.100.000 untuk setiap pohon, dan Rp.2500/meter. Warga menolak tetapi menaikkan harga. Rencana pembangunan Brigif berada di atas tanah penghidupan sehari-hari warga, diwilayah dimana terdapat lebih dari 1000 pohon durian, ribuan coklat dan kelapa juga manggis. Menurut salah seorang pemilik lahan, saat musimnya sebuah pohon durian bisa menghasilkan Rp.5 juta, cengkih bisa menghasilkan Rp.10 juta perpohon, belum lagi hasil coklat yang terbilang banyak. Sementara itu, setiap warga mengeluh akan sempitnya lahan di Desa Tongko dan meminta agar pemerintah kabupaten melalui Dinas Kehutanan dapat membebaskan lahan di bagian selatan desa untuk di pakai berusaha. Dinas Kehutanan menolak, itu adalah hutan lindung, demikian alasannya. Camat Lage membuka pendapat: “saya sudah akan pensiun, biarlah pembebasan lahan Brigif ini jadi kenang-kenangan untuk saya pensiun”
Lagi!! Atas nama pembangunan, kehidupan warga haruslah nomor dua. Kali ini lebih tegas, demi pengamanan wilayah pasca konflik dan pengamanan lainnya serta perlindungan wilayah, rakyat diharuskan menomorduakan kehidupannya, tanahnya. Konflik kekerasan secara efektif menjadikan tanah-tanah tidak lagi menjadi milik rakyat. Tanah-tanah menjadi milik mereka yang berseragam, atas nama pengamanan wilayah. Lalu, tanah-tanah menjadi milik mereka yang beruang, atas nama pembangunan. Kolaborasi kepentingan keduanya niscaya menggusur rakyat dari tanahnya.
(Monday, October 27, 2008 at 7:07pm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar