Santoso ditembak tewas. Perburuan terbesar dalam sejarah
Indonesia di abad ke 21 ini dirayakan oleh berbagai pihak. Puja puji ditujukan
pada aparat keamanan, terutama pada Kapolri baru Tito Karnavian yang sempat
menjadi Satgas dalam operasi keamanan di Poso. Tak hanya itu, para pendukung
kelompok Santoso tak ketinggalan mengaminkan kematiannya sebagai pahlawan.
Para pahlawan ini dibicarakan dengan menempatkan warga
Poso sebagai pihak ketiga dari konteks perburuan. Sebagai pihak ketiga, warga
di Poso tak penting untuk dibicarakan selain sebagai latarbelakang konteks.
Bahkan melihat warga Poso sebagai pihak yang lemah dan tidak mengambil peran
apapun dalam seluruh konteks yang terjadi di wilayahnya sendiri. Tulisan ini
membicarakan dua catatan yang hilang dari hiruk pikuk ini.
Pertama, Keberkorbanan orang Poso
Sejak awal operasi keamanan ditetapkan di Kabupaten Poso,
kehidupan warga di 6 kecamatan di Kabupaten Poso berubah. Warga di Poso Pesisir
Selatan, Poso Pesisir Utara serta Lore Utara, Lore Peore, Lore Tengah dan Lore
Timur menyesuaikan mekanisme dan sistem kehidupannya dengan operasi keamanan.
Ibu Tomi dari Desa Tri Mulya, Poso Pesisir Utara
menceritakan ketika anaknya terkena penyakit saat itu sedang terjadi baku
tembak dengan jarak sangat dekat. Bidan, satu-satunya harapan desa untuk urusan
kesehatan warga tidak bisa berkunjung karena larangan dan takut menjadi sasaran
salah tembak. Ibu Adi di Desa Tangkura bercerita ibunya dan banyak warga desa
lainnya beralih pekerjaan menjadi buruh sawit di kabupaten lain. Mereka tidak
bisa lagi berladang dan berkebun, meskipun saat itu musim panen. Ibu Citra dan
banyak warga yang lain menjadi pemecah batu di Sungai Puna. Puluhan hektar
kebun coklat yang jaraknya tidak jauh
dari desa tidak bisa lagi mereka rawat.
Lain lagi cerita ibu Desi, di Poso Pesisir Selatan. Untuk
bisa tetap memanen pohon kelapanya, dia harus menyewa banyak orang. Biasanya
ibu Desi dan keluarganya dapat menyelesaikan sendiri pekerjaan tersebut, tapi
kali ini mereka harus berburu waktu sebelum jam 3, waktu yang dalam aparat bagi
para petani. Sore menjelang malam, jalanan sepi. Jarang dijumpai suasana
bercengkrama antar tetangga. Pernah juga kurang lebih 2 minggu, sebagian warga
di 6 dusun mengungsi saat dilakukan latihan militer yang juga disebut ditujukan
untuk mengejar kelompok Santoso. Sementara itu, beberapa warga petani
menjadi sandera sebelum dibunuh dengan cara kejam.
Kisah para perempuan dari desa ini sangat sulit ditemukan
di media massa, apalagi dibicarakan. Imajinasi orang tentang Poso telah
ditetapkan sebagai wilayah konflik, wilayah teroris. Sebagai wilayah konflik,
terdapat kesan segala peristiwa yang terjadi demi alasan keamanan adalah
lumrah. Pengorbanan memang harus dilakukan. Yang terjadi, keberkorbanan orang Poso.
Dalam berbagai serioperasi keamanan dengan berbagai nama,
warga Poso memilih aktif berkorban dan menjadi korban, juga pada saat bersama
dikorbankan. Berkorban dengan meninggalkan lahan pertanian mereka, menjadi
korban hingga kehilangan nyawa , dikorbankan dalam kebijakan keamanan. Secara
aktif warga Poso menjadi bagian dari seluruh proses itu, setiap hari dan
bertahun-tahun.
Kedua, kekuatan
yang tak lekang
Perburuan Santoso adalah operasi
perburuan manusia terbesar di abad 21 ini. Jumlah ini mengalahkan
sejarah perburuan yang dilakukan terhadap Kartosoewirdjo yang memimpin
pemberontakan Darul Islam di masa Presiden Soekarno. Saat itu Kartosoewirjo
memimpin pasukan dengan kemampuan terlatih yang jumlahnya melebihi satu batalyon,
diburu oleh pasukan 1 batalyon. Diluar operasi keamanan tahun 2012 –
2015, jumlah aparat keamanan gabungan TNI dari semua angkatan plus pasukan
elitnya dan Kepolisian adalah 3.000 personil. Operasi keamanan berbiaya 57
miliar per tahun ini ditujukan untuk memburu kelompok Santoso yang anggotanya
39 orang ( sekarang tercatat berjumlah 19 orang ). Bahkan, secara khusus untuk
memburu Santoso, aparat keamanan dibagi dalam 63 tim. Santoso yang dalam rekam
jejaknya tercatat terlibat perampokan mobil box kelontongan di Maleali
dengan tuntutan 1 tahun penjara ini ditangani oleh pasukan yang paling
terlatih di Indonesia.
Ketika sedang bermaksud
menunjukkan keseriusan memburu kelompok Santoso, gelaran operasi keamanan ini
sekaligus melegitimasi kekuatan kelompok. Selanjutnya, menciptakan
imajinasi ketokohannya yang kemudian dirayakan oleh para pendukungnya saat
kemudian tewas.
Imajinasi yang dibangun
melalui serial operasi keamanan menyingkirkan kemampuan dan kekuatan masyarakat
Poso dalam upaya-upaya perdamaian di Poso. Masyarakat Poso dibaca dan
dibicarakan sebagai pihak yang semata-mata lemah tak berdaya mengatasi seri
konflik yang terus terjadi. Bahkan,
masyarakat Poso diklaim sebagai bagian dari konflik itu sendiri.
Kenyataannya, sejak tahun
1999 masyarakat Poso berusaha bangkit
bersama memulihkan trauma, mengurai dendam karena konflik dengan berbagai cara.
Ketika larangan keluar rumah pada malam hari dengan alasan keamanan disampaikan
oleh aparat keamanan, ibu-ibu dari berbagai desa dengan latar belakang agama
yang berbeda-beda berkumpul di salah satu lokasi penembakan untuk menyampaikan
pesan damai termasuk kepada mereka yang diduga teroris.
“Kami ini semua korban konflik Poso, merasakan
lari ke hutan, kehilangan keluarga. Tapi kami semua kembali pulang ke Poso.
Saat kembali pulang, kami cuma punya satu pilihan yaitu menjaga kehidupan
sebaik-baiknya” Ibu Martince, anggota sekolah perempuan Mosintuwu, sebuah
organisasi masyarakat akar rumput di Poso menceritakan. “ Saya dulu sempat
dendam. Sekarang, saya bersama dengan teman-teman yang lain saling bikin kode
perdamaian. Kalau ada isu atau rumor beredar yang mengancam atau berpotensi
menyebarkan konflik baru, kami akan bersama-sama bikin kabar baik yang
diedarkan ke semua pihak. Ini bukan hanya untuk mencegah konflik, tapi juga
membuktikan diantara kami yang terpenting adalah menjaga kehidupan”
Menjaga kehidupan adalah
pilihan masyarakat Poso yang belajar dari sejarah konflik bawah tidak ada yang
kalah dan tidak ada yang menang jika saling berperang. Yang ada adalah
berhentinya kehidupan.
Karena itu, anak-anak
dari berbagai agama berkumpul bermain bersama, menjalin pertemanan lintas batas
melalui buku perpustakaan keliling. Anak-anak muda menginisiasi Generasi Damai
Poso. Sebagian besar tokoh agama bergandengan tangan menyampaikan pesan damai
di mimbar-mimbar agama. Pemerintahan desa sibuk membangun konsep desa membangun
yang damai. Siapapun di Poso sibuk memastikan lokasi-lokasi wisata yang indah
di Kabupaten Poso kembali aktif dan dikunjungi. Para perempuan desa
menginisiasi forum perdamaian dengan tetap kritis pada pembangunan. Semua fokus
pada bagaimana membangun Poso.
Cerita bagaimana para ibu
dan warga desa di Kabupaten Poso menjalani semua kehidupan membangun perdamaian
ditengah semua seri operasi keamanan, adalah bangunan harapan. Harapan bahwa
tanah Poso adalah tanah dimana perekonomian mereka tumbuh, terikat kehidupan
sosial yang tidak patah, dengan kebudayaan kebersamaan. Harapan yang dijalani dalam
kehidupan sehari-hari ini adalah kekuatan sebenarnya orang Poso dalam membangun
perdamaian dan keadilan.
Sintuwu
Maroso
Karena itu, cerita tentang Santoso tidak punya makna
berarti dalam kehidupan orang Poso apalagi dalam upaya membangun perdamaian di
Poso. Ketokohan yang diciptakan atas Santoso sesungguh tidak bisa dimaknai
apapun selain menyadarinya sebagai sebuah permainan kepentingan.
Dalam konteks inilah, warga Poso adalah pahlawan atas
proses apapun yang memastikan keamanan demi perdamaian dan keadilan di Poso. Sintuwu
Maroso adalah akar budaya orang Poso yang dalam sejarahnya menunjukkan
bagaimana orang Poso bahu membahu bekerjasama untuk damai Poso.
Tentu, tidak ada kenaikan pangkat dari warga desa menjadi
warga istimewa berbintang tujuh. Warga Poso masih akan tetap bersusah payah
berkebun atau mencari ikan menafkahi hidup. Tidakpun berubah jabatan
warga desa di Poso menjadi lebih tinggi setelah operasi ini. Warga Poso akan
berusaha menjalani kehidupannya sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya untuk bertahan,
sebelum akhirnya hidupnya beradaptasi dengan kebijakan keamanan baru akan
datang. Tapi, disitu masyarakat Poso menunjukkan bahwa kekuatan
sebenarnya dari upaya perdamaian adalah masyarakat Poso sendiri.
Amin...Poso bangkit
BalasHapus