Menolak Budaya Kekerasan


Pagi hari itu, saat melihat empat orang volunteer laki-laki yang sedang makan di dapur, seluruh badan anak berusia 12 tahun itu gemetar ketakutan, memegang tangan ibunya dan berbisik “saya tidak mau disini, kita pulang saja”. Ibunya berusaha membujuk, tapi Dita (nama samaran) bersikeras pulang hingga hampir menangis. Dia duduk diam tidak berkata apa-apa, tapi seluruh badannya gemetar, matanya berkaca-kaca. Tidak mau bergerak sampai semua laki-laki di ruangan itu pergi. Saya dan tim pendamping lainnya akhirnya mengevakuasi Dita ke tempat lain yang lebih aman. Dua minggu sebelumnya, Dita diperkosa oleh teman ayahnya.  Di satu desa terpencil di Poso. Sudah dilaporkan ke pihak kepolisian tetapi tidak direspon. Mereka keluarga yang sangat miskin.

Sementara itu, anggota DPRD, para menteri, lalu seorang calon hakim agung Daming Sanusi mengeluarkan pernyataan yang  menghina korban perkosaan disertai gelak tawa tanpa perasaan dari sejumlah anggota DPRD.  Pernyataan bahwa“pemerkosa dan korban sama-sama menikmati” adalah gambaran mengakarnya budaya kekerasan seksual di Indonesia.  Mengakarnya budaya kekerasan seksual di Indonesia bukan persoalan moral tetapi pertama-tama berakar pada ketimpangan relasi gender dalam masyarakat yang secara sistematis dilegalkan secara struktural.

Masyarakat patriakhi melihat perempuan dari tubuhnya bukan dari pikirannya. Dalam konteks berpikir perempuan dilihat peranannya dari tubuh (reproduksi), pemerkosaan juga dilihat dalam konteks yang sangat bias gender. Akibatnya kasus pemerkosaan dilihat hanya sebagai kasus seksual. Komentar Daming Sanusi “menikmati” memberi penekanan pada soal penetrasi dalam pemerkosaan. Cerita trauma Dita yang pada awal tulisan ini membantah dengan tegas sekaligus menunjukkan kejahatan pernyataan tersebut. Karena, pemerkosaan bukan soal seksual atau  soal asusila. Pemerkosaan adalah sebuah pelanggaran terhadap hak otonomi  seseorang pada tubuh, sebuah penindasan terhadap hak integritas seseorang. Pemerkosaan adalah kejahatan terhadap hak dasar manusia. 

Komnas Perempuan pernah melaporkan bahwa sepanjang tahun 2012, terdapat 2.637 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dimana 62% adalah kekerasan seksual. Data ini hanya data yang dilaporkan, itupun sebagian besar berada di wilayah Jawa. Bisa dibayangkan di wilayah lain di Indonesia yang terpencil dan tidak memiliki akses untuk mengadu, melapor apalagi didampingi. Termasuk di Kabupaten Poso.

Kabupaten Poso sendiri telah memiliki  Peraturan Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak. Demikian pula P2TP2A yang disebut-sebut sebagai posko pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Meskipun demikian berbagai jenis kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagian besar tidak ditangani, tidak dilayani, bahkan seringkali diabaikan , dianggap tidak penting.  Keadaan ini bukan hanya memperpanjang daftar kekerasan terhadap perempuan dan anak tetapi melanggengkan cara berpikir yang tidak adil gender, dan akibatnya memelihara perilaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Menyelesaikan, menghentikan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak memang bukan hal yang mudah. Persoalan utama berakar pada cara berpikir yang tidak adil gender dipelihara oleh sistem, termasuk dalam sistem pendidikan juga sistem hukum. Dengan kata lain persoalan pemerkosaan adalah persoalan struktural.  Beberapa pengalaman mendampingi korban ketika berhadapan dengan penyidik kepolisian, pengacara termasuk oleh media massa, korban sering diberikan pertanyaan yang memojokkan korban, menviktimisasi korban.  Hal ini menggambarkan penyidik kepolisian, pengacara, wartawan, berbagai pihak yang seharusnya melindungi korban tidak dibekali pengetahuan, pendidikan yang adil gender. Sebaliknya perspektif yang digunakan sangat patriakhi. Hal yang sama terlihat dalam sistem hukum.  Misalnya, Pasal 89 KUHP soal perumusan perkosaan yang selain penetrasi harus dibuktikan “ …dengan kekerasan atau ancaman kekerasan..” yang sama dengan korban harus membuktikan ketidaksetujuannya terhadap hubungan secara kasat mata ada bukti fisik yang membuat korban pingsan atau tidak berdaya. Demikian pula Pasal 285 KUHP menganggap perkosaan sebagai hal yang ringan, yaitu dianggap hanya sebatas persetubuhan dengan penetrasi.  Belum lagi terdapat kesan keengganan yang kuat dari pihak kepolisian di Kabupaten Poso untuk merespon, menindak pelaku pemerkosaan. Ketika keluarga Dita melaporkan kasus pemerkosaan terhadap anaknya, Polsek Pamona Selatan merespon sangat lambat, beralasan tidak bisa menangkap pelaku karena pelaku tidak ada di tempat. Sementara menurut laporan warga, pelaku masih berkeliaran dengan bebas di desanya. Perkosaan dianggap hal yang tidak mengancam kehidupan.

Padahal, dampak perkosaan seperti yang digambarkan dalam bagian awal tulisan ini sangat mengerikan. Perkosaan bukan hanya derita fisik tetapi terutama dan terlebih lagi adalah derita batin, penghancuran masa depan, merusak kehidupan.

Kasus lontaran pernyataan Daming dan sikap DPR RI terhadap isu perkosaan adalah gunung es sikap diskriminasi masyarakat Indonesia terhadap korban perkosaan. Membiarkan hal ini terjadi, termasuk membiarkan orang lain di sekitar kita melakukan hal yang sama, sama halnya dengan mendukung budaya perkosaan. Mendukung budaya perkosaan sama saja dengan menyuburkan, membiarkan teror, rasa tidak aman terhadap semua orang, termasuk kita, anak-anak kita dan keluarga kita. Mereka yang menjadikan perkosaan sebagai lelucon, membiarkan pemerkosaan, membiarkan pemerkosa, juga mendiskriminasikan korban sama saja dengan merayakan pemerkosaan. Karena itu, mentransformasi nilai dan sistem yang memelihara budaya kekerasan, budaya perkosaan harus dimulai dari sikap kita yang menolak memproduksi kekerasan, juga menolak untuk menerima begitu saja sikap dan pernyataan kekerasan (baca: perkosaan) yang mendiskriminasikan korban. Setiap satu kekerasan, adalah tragedi, sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.

*Pernah dimuat di Koran Radar Poso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar