Dialog Jakarta - Papua

Seorang kawan dari Jogjakarta yang bekerja di Papua selama kurang lebih 4 tahun menceritakan  kepada saya bagaimana perilaku para pejabat, petinggi pemerintahan di Papua menghambur-hamburkan uang di Jakarta. Dia menggambarkannya dengan detail bagaimana uang bisa dibawa berkarung-karung, “uang cash” tekannya berulangkali sambil menggeleng-gelengkan kepala, untuk berbelanja di Jakarta. Sementara itu ketika saya menghadiri refleksi akhir tahun 2012 Komnas Perempuan, seorang perempuan dari Papua mengeluhkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Papua yang hanya memperkaya orang-orang tertentu di Papua, menyingkirkan tanah-tanah orang asli Papua sehingga menjadikan orang Papua menjadi tamu di tanahnya sendiri. Di televisi, diberitakan penembakan polisi di Papua, perkelahian antar suku dan meningkatnya keamanan di Papua menjelang hari ulang tahun OPM. Lalu, saya membaca kumpulan tulisan Romo Neles Kebadabi Tebay tentang dialog di Papua. Berulang-ulang dalam tulisannya sejak tahun 2001, Romo Neles mengatakan berbagai peristiwa pemiskinan struktural dan berbagai kekerasan di Papua adalah sebuah dampak. Dampak dari tidak pernah ada dialog.     
Hanya ada satu kata: Dialog. Satu kata untuk membuka jalan dalam menjawab berbagai berbagai persoalan di Papua yang sangat kompleks. Satu kata yang memungkinkan ada jaminan kekerasan tidak akan terjadi lagi, dan Tanah Papua menjadi Tanah Damai. Demikian dengan jelas, tegas, berulang kali, Romo Neles Kebadabi Tebay menjawab kebutuhan utama di Papua saat ini dalam berbagai tulisannya. Bagaimana melakukan dialog,  siapa saja yang terlibat, apa agenda dialog, juga berulangkali disampaikan Romo Neles dengan menelusuri jejak perkembangan persoalan di Papua dari tahun ke tahun. Bagi Romo Neles, lahirnya berbagai kebijakan dengan dalih untuk menyelesaikan persoalan di Papua bukanlah jalan keluar. Sebaliknya kebijakan lahir haruslah merupakan sebuah hasil dialog. Kebijakan Otonomi Khusus mungkin merupakan salah satu kebijakan yang mendengarkan suara rakyat Papua sejak bertahun-tahun, namun pelaksanaannya pun membutuhkan dialog. Sementara itu, kekerasan akan terus terjadi sebagai dampak/akibat, ketika dialog tidak kunjung dilaksanakan.  Menurunnya kepercayaan dunia internasional (salah satunya dengan munculnya International Parliaments for West Papua – IPWP) terhadap Pemerintah Indonesia adalah akibat lain karena tidak adanya dialog yang dapat menyelesaikan akar masalah.  Pusat agenda dialog adalah Jakarta – Papua; yaitu dialog antara Pemerintah Pusat dengan rakyat Papua yang diwakilkan oleh beberapa kelompok masyarakat.
Bekerja di wilayah pasca konflik di  Poso, Sulawesi Tengah, saya mengetahui dan belajar bahwa dialog menjadi kunci yang membuka jalan bagi pembangunan perdamaian.  Kebijakan yang hanya dari pusat (baca: Pemerintah Pusat) dalam penanganan pasca konflik seringkali tidak mendengarkan suara masyarakat akar rumput, bahkan seringkali memiliki agenda politik tersendiri. Agenda politik dari pusat  inilah yang kemudian tidak akan pernah berhasil menjadikan pembangunan pasca konflik menjadi milik masyarakat atau paling tidak menjadi pembangunan berbasis perdamaian.  Akibatnya kekerasan demi kekerasan masih akan terus terjadi sebagai dampaknya. Karena itulah dialog menjadi sangat penting.
Namun saya juga belajar pentingnya dialog masyarakat akar rumput sebagai ruang alternative sekaligus ruang pengorganisiran visi bersama, dan bagaimana perempuan menjadi ruang alternative sebuah dialog masyarakat akar rumput. Dialog masyarakat akar rumput akan menempatkan jalan menuju Papua damai menjadi sebuah perjuangan bersama rakyat Papua (karena suara dan kehidupan mereka didengarkan dan menjadi pusat dialog itu sendiri). Dialog masyarakat akar rumput bukanlah dialog di meja perundingan, melainkan dialog yang mengakar pada kehidupan ekonomi, sosial, budaya rakyat Papua.

Mendialogkan Kebudayaan.
Pertama-tama adalah mendialogkan kebudayaan Papua.  Isu tentang ‘orang asli’ dan ‘orang pendatang’ sebagai salah satu persoalan yang mengemuka sekarang ini sebenarnya bukan saja soal ketrampilan dan akses ketenagakerjaan tetapi problematika kebudayaan yang ada dan dibentuk serta bagaimana mereka saling memandang. Selama ini terdapat kekeliruan cara pandang terhadap kebudayaan Papua, antara lain stereotipe suku-suku di Papua kurang beradab atau lebih rendah kebudayaannya melalui lelucon tentang warna kulit, rambut dan kebiasaan makan bahkan kebijakan tentang koteka. Termasuk adanya generalisasi suku-suku bangsa Papua sebagai hal yang satu saja, yang sesungguhnya sangat beragam.  Dalam hal inilah tahapan awal mendialogkan kebudayaan adalah mengapresiasi kebudayaan Papua sebagai suku bangsa yang bukan hanya beragam dan kaya, tetapi setara dengan suku-suku lain di Indonesia (Jawa, Toraja, Batak dan sebagainya). Dalam kompleksitas persoalan pembangunan di Papua saat ini, antara lain dengan munculnya para transmigran, mendialogkan kebudayaan caranya adalah dengan menciptakan kebudayaan yang revolusioner. Kebudayaan “revolusioner”  yaitu yang memadukan secara kritis dan selektif berbagai unsur kebudayaan asli dan unsur kebudayaan luar ( Aditjondro, 2000). Misalnya dalam bidang pertanian, mengintroduksi padi kepada suku bangsa Papua di sela-sela bedeng batatas di Lembah Baliem yang menempatkan para petani suku Papua menjadi aktor utama lahan pertanian tanpa menggusur batatas, sagu, kelapa sebagai bahan pangan utama rakyat Papua. Demikian pula dihargainya teknik-teknik bercocok tanam yang dimiliki oleh suku bangsa Papua dan tidak serta merta diganti dengan mesin traktor , demikian pula tanpa perlu mengikuti pola para transmigran yang mencetak ribuan petak sawah kecil yang belum tentu cocok dengan topografi dan kondisi tanah setempat. Penghargaan terhadap seni, budaya, kekayaan alam dan menghormati adat istiadat  suku bangsa Papua juga merupakan bagian dari menempatkan dialog kebudayaan ini. Hal ini juga berlaku dalam pengelolaan sumber daya alam di Papua yang menghormati kebudayaan orang Papua, termasuk menjadikan orang Papua sebagai pihak yang terlibat aktif dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Berdasarkan proses mendialogkan kebudayaan inilah dikembangkan strategi pembangunan yang berakar pada kemampuan dan modal dasar rakyat Papua sendiri, bukan hanya terutama mengandalkan tenaga asing, para transmigran atau hanya berpusat pada kebijakan Pemerintah Pusat. Maka jika persoalan Papua adalah persoalan antara orang Papua asli dengan Pemerintah Indonesia (lebih spesifik lagi, Jakarta) , dialog dilaksanakan dalam konteks perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan orang asli Papua. Dialog yang demikian akan mengatasi hambatan salah persepsi tentang orang Papua sendiri, mengurangi kekerasan karena ketidakpuasan terhadap ketidakadilan yang lahir dari kebijakan Pemerintah Pusat, termasuk memungkinkan untuk menguatkan nasionalisme orang Papua tanpa mencabut mereka dari akar kebudayaannya.

Mendengarkan suara perempuan Papua
Mendengarkan suara perempuan Papua adalah hal penting lainnya sebagai bagian dari dialog ini. Bukan hanya karena perempuan adalah lapisan terbawah dari sebuah kekerasan yang berlangsung di Papua, tetapi juga karena suara perempuan dimanapun menggambarkan re-interpretasi alternative berbagai peristiwa kekerasan di Papua, bukan sekedar analisis sebab akibat tetapi menggambarkannya dalam rangkaian kehidupan rakyat Papua. Re-interpretasi atas kekerasan di Papua akan “mempertemukan narasi-narasi” tentang kehilangan kehidupan yang dirasakan bersama oleh seluruh rakyat Papua akibat kekerasan dan ketidakadilan, tidak terkecuali, sebagai sebuah bangsa. Re-interpretasi ini akan membawa pada pengakuan adanya kepentingan bersama  membangun Papua menuju damai. Sebuah pengakuan akan menempatkan dialog adalah dialog yang setara, dimana rakyat Papua diakui mempunyai hak menentukan hidupnya. Mengabaikan suara perempuan dalam dialog  menghilangkan sebagian kehidupan yang pernah dirampas dari rakyat Papua. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar