Hari (Gerakan) Perempuan Indonesia:Kritik terhadap Hari Ibu

Pengguntingan pita, aneka lomba masak, memakai kebaya dan pakaian tradisional perempuan Indonesia, membebaskan beban domestik sehari, memberikan kejutan atau hadiah istimewa terhadap ibu adalah bentuk-bentuk yang dipastikan hadir dalam merayakan Hari Ibu, 22 Desember. Sebuah bentuk perayaan yang mengungkapkan berbagai bentuk kasih sayang dan terimakasih kepada para ibu, menyanjung, mengagumi ke-ibu-an para ibu. Nampaknya, perayaan Hari Ibu di Indonesia direfleksikan sangat jauh berbeda maknanya dari semangat dan sejarah dikeluarkannya Dektrit Presiden No. 316 tahun 1959 tentang Hari Ibu sebagai Perayaan Nasional.

Pemaknaan Hari Ibu yang demikian sah saja, tidak salah, akan tetapi terasa sangat ironis. Pertama, berbagai bentuk perayaan yang demikian secara langsung mengukuhkan peran Perempuan semata-mata di wilayah domestik.
Membebaskan dari peran domestik secara tidak langsung mengakui peran perempuan hanya di wilayah domestik. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh penggunaan kata Ibu, (bukan Perempuan) yang melekat pada fungsi domestik dalam keluarga Indonesia. Kedua, masih berkaitan dengan hal pertama, berbagai bentuk perayaan tersebut terkesan meniru jenis perayaan yang sama di berbagai negara lain, yaitu Mother’s Day.

Di berbagai negara lain penggunaan kata Ibu ditujukan memberikan pujian terhadap ke-ibu-an (motherhood) dan perannya sebagai  orang “yang telah melahirkan dan menyusui”, sebagai pengasuh anak, pendamping suami. Pengaruh negara-negara Eropa dan Timur Tengah yang memuja Dewi Rhea, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno telah mempengaruhi makna perayaan Hari Ibu. Ini berbeda dengan Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong yang memperingati Mother’s Day  pada bulan Mei karena pada saat itu itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara. Dalam hal inilah media massa berperan dalam melakukan komersialisasi Hari Ibu.  Ketiga, hal yang paling ironis adalah perayaan yang demikian tidak hanya melupakan sejarah dibalik lahirnya Hari Ibu, tetapi juga membalikkan sejarah Gerakan Perempuan Indonesia yang mendorong terjadinya perubahan dalam pembangunan Indonesia, termasuk dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Merayakan Hari Ibu sebagai simbolisasi ke-ibu-an para ibu pada akhirnya adalah perayaan gerakan sosial masyarakat melegalkan konstruksi bias gender terhadap perempuan (termasuk sang ibu). Salah kaprah terhadap Hari Ibu ini Tulisan ini hanya akan secara singkat melihat kembali sejarah dan dinamika lahirnya Hari Ibu sebagai sebuah gerakan ideologisasi bias gender.

Dektrit Hari Ibu dan Ideologisasi Bias Gender 

Dektrit Presiden No. 316 Tahun 1959 tentang Hari Ibu, lahir sebagai respon atas perjuangan para Perempuan hebat Indonesia . Tanggal 22 Desember dipilih untuk mengingat kembali penyelenggaran Kongres Perempuan Pertama, 31 tahun sebelumnya yaitu tahun 1928 di Gedung Mandalabhakti Wanitatama di Jogjakarta. Kongres ini adalah kongres yang menjadi tonggak sejarah perjuangan dan gerakan perempuan di Indonesia.

Kongres ini diprakarsai oleh tiga perempuan, yaitu Nyi Hajar Dewantara, Ni Suyatin, dan Ny. Sukonto, yang bertujuan untuk “mengatasi provinsialisme dalam gerakan wanita”. Dalam Kongres Perempuan pertama yang diadakan bahkan sebelum Indonesia merdeka  ini dibicarakan pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda, perkawinan anak-anak, reformasi undang-undang perkawinan islam, pentingnya harga diri di kalangan perempuan dan kejahatan kawin paksa, nasionalisme dan anti permaduan (poligami). Kongres ini sendiri kemudian menghasilkan empat hasil utama: pertama, rencana membentuk organisasi payung yang bernama Perikatan Perempoean Indonesia yang terdiri dari 20 organisasi anggota, memiliki majalah bernama Isteri. Kedua, mosi untuk mengadakan dana belajar bagi para gadis. Ketiga, semua anggota dituntut melakukan kampanye anti-perkawinan anak-anak. Keempat, mengajukan tiga usul kepada pemerintah, yaitu mengadakan jaminan sosial untuk yatim-piatu dan janda pegawai sipil Indonesia, menuntut agar dana tunjangan tidak dikurangi dan menambah jumlah sekolah perempuan (Wieringa, 1999).

Kongres pertama ini kemudian menjadi awal gerakan nasional perempuan Indonesia, terbangunnya berbagai organisasi perempuan yang memperjuangkan pelibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, kebijakan pembangunan, melawan perdaganan anak dan kaum perempuan, mengusung isu kesehatan dan pernikahan dini termasuk melawan poligami. Gerakan ini bahkan sudah dimulai sebelum isu gender menjadi isu penting dalam MDGs. Meskipun dalam konteks saat itu, gerakan perempuan merupakan kombinasi antara ide-ide esensialis dan konstruktivis (kolonialisme – Jepang dan Belanda), yang kemudian menggeser perjuangan melawan poligini, namun jelas isi perjuangan kaum perempuan saat itu menunjukkan sebuah gerakan pemikiran yang melampaui ide-ide peran ke-ibu-an.

Pasca kemerdekaan, gerakan perjuangan perempuan bahkan lebih sulit, tidak lagi berhadapan dengan kolonial tetapi juga dengan kaum politisi laki-laki Indonesia. Dalam konteks patriakhi, feodalisme saat itu bukanlah hal yang mudah. Dalam perjuangan anti-kolonial, perempuan menjadi aktor yang vocal di politik sekaligus menjadi ibu dan istri. Wieringa (1999) menterjemahkannya sebagai Ibu yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia dan istri yang baik sebagai pembantu laki-laki dalam perjuangannya. Setelah tidak ada musuh bersama (kolonial), laki-laki mengaku bidang politik sebagai bidang mereka dan perempuan diminta hanya bergerak di bidang sosial.  Hanya Gerwani yang kemudian secara tegas menyatakan bahwa politik adalah sah bagi gerakan perempuan.

Vreede-de Stues (1960) yang menulis tentang perjuangan gerakan perempuan Indonesia bahkan menggambarkan dinamika saat itu “ Di mata laki-laki, perempuan menjadi pesaing yang bahkan harus ditakuti, oleh karena sekarang mereka mampu menangani baik urusan umum maupun urusan pribadi mereka sendiri” Oleh karena itu, hadirnya Dektrit Presiden tentang Hari Ibu menyisakan sisi ironis bukan hanya karena kehidupan pribadi Soekarno yang melakukan poligami (salah satu penyebab pecahnya pendapat dalam organisasi perempuan saat itu) termasuk pernyataannya yang ambivalensi soal gerakan perempuan bahwa gerakan feminism beragitasi untuk melawan laki-laki sementara perempuan sosialis berjuang bahu-membahu dengan kaum laki-laki tetapi juga dibatasinya gerakan perempuan dalam memprotes ketidakadilan. Sehingga bukan tidak mungkin Dektrit Hari Ibu adalah sebuah bentuk lain ideologisasi tentang peran perempuan dalam politik. 

Perjuangan gerakan perempuan pada masa Orde Baru kemudian ada pada titik antiklimas dengan program “ideologisasi” kesadaran perempuan Indonesia oleh Soeharto. Julia I. Surjakusuma, menyebutnya  ibuisme negara (state ibuism). Bagi Orde Baru, “kodrat” utama perempuan Indonesia adalah istri bagi suami dan ibu bagi anak-anak. Karena itu tidaklah kemudian berguna jika seorang perempuan bersekolah tinggi karena pada akhirnya akan berperan di wilayah dapur saja. Ideologisasi peran perempuan ini bahkan dilegalkan dalam kebijakan negara dengan lahirnya Panca Dharma Wanita. Isi Panca Dharma Wanita memperkuat ideology ini, yaitu: Perempuan sebagai pendamping suami, perempuan adalah penerus keturunan, perempuan adalah pengatur ekonomi, perempuan adalah pencari nafkah tambahan dan perempuan wajib mengikuti kegiatan sosial (bukan kegiatan politik) pada akhirnya menjadi ideologi bersama masyarakat Indonesia. Sejak saat itu masyarakat Indonesia meyakini wilayah perempuan berada pada wilayah domestik (memasak, menyiapkan makanan, mengurus anak dan suami), reproduksi biologi (hamil, melahirkan, menyusui) dan wilayah sosial (bukan politik, karena mendampingi suami dalam peran-perannya; bukan sebagai pengambil keputusan)

Dibentuknya PKK, ibu-ibu Dasa Wisma adalah praktek yang memperkuat ideologisasi ini. Pada akhirnya, dalam kerangka pemikiran ini pula Hari Ibu dirayakan dan dimaknai, mengukuhkan peran domestik perempuan hingga saat ini (?).

Memaknai Ulang Hari (Gerakan) Perempuan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam siaran pers-nya dalam rangka merayakan Hari Ibu 22 Desember 2011 menegaskan Hari Ibu adalah sebuah momentum untuk mengingat dan meneguhkan kontribusi gerakan kaum perempuan dalam menyiapkan Indonesia sebagai negara yang bebas dari kolonialisme, berdaulat, adil dan makmur. Sejalan dengan itu, misi peringatan Hari Ibu adalah mengingat dan meneguhkan perjuangan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa.

Kata mengingat dan meneguhkan mengandung makna aktif, pro-aktif. Mengingat kembali perjuangan panjang para perempuan hebat pada masa kolonial dan pasca kemerdekaan mengantarkan pada pemaknaan posisi dan peran politik perempuan yang melampaui batas-batas peran domestik yang selama ini dilekatkan pada perempuan. Mengingat kembali juga berarti mengamini gerakan perempuan sebagai tonggak sejarah kemerdekaan bangsa, dan karena itu berarti kemerdekaan bagi perempuan untuk memiliki posisi yang setara. Meneguhkan berarti meneruskan perjuangan perempuan pada konteks sekarang. Perjuangan melawan penindasan dan kekerasan terhadap perempuan di segala bidang atas nama agama atau budaya; perjuangan melawan kemiskinan, pemiskinan; perjuangan melawan diskriminasi; perjuangan untuk kebebasan berekspresi.

Memperingati Hari Ibu (jika tidak ingin melegalkan ideologisasi bias gender) kemudian dapat berarti melegalkan perjuangan gerakan politik dalam segala aspek dan pada titik yang hampir bersamaan mengagumi keberanian perempuan dalam bentuk ungkapan terimakasih atas peran-peran domestik, biologis, sosial dan politik yang dijalankannya dalam konteks masyarakat patriakhi, feodal. Dalam hal inilah para perempuan kemudian mengatakan “kami bukan korban, tetapi penyintas (survivor)”

Dalam konteks masyarakat pasca konflik, Hari Ibu memiliki makna yang sangat dalam pada kata “kami bukan korban, tetapi penyintas (survivor)”. Perempuan menjadi ibu bagi kehidupan saat konflik maupun pasca konflik.   Saat konflik terjadi, perempuan berada pada lapisan terbawah yang mengalami kekerasan, berlapis kekerasan. Perempuan mengalami kekerasan seksual, kekerasan fisik, psikis, ekonomi juga politik.  Dalam kondisi yang demikian, perempuan menunjukkan perjuangan dan perlawanannya. Perempuan menjadi agen perdamaian yang massif dalam masyarakat. Saat konflik (dan pada saat yang bersamaan ada kekerasan)terjadi, perempuan menjadi pelindung komunitas saat mengungsi maupun di wilayah pengungsian.  Pasca konflik, perempuan yang pertama membuka jalur perekonomian dengan membuka pasar. Pada saat yang bersamaan perempuan-lah yang memulai melintasi batas-batas identitas agama dan suku melalui pasar. Perempuan juga yang memiliki narasi mengenai konflik yang melawan hegemoni wacana konflik yang disebarkan oleh negara atau aparat militer, narasi mengenai konflik kepentingan ekonomi dan politik yang mencerai beraikan kehidupan (lihat Kolom Cerita Perempuan). 

Bagi masyarakat pasca konflik, Hari Ibu bukan hanya mengingat kembali perjuangan para perempuan mengalami, melewati kekerasan berlapis dan pada saat yang bersamaan mengagumi peran perempuan dalam mempertahankan kehidupan. Mengingat kembali sekaligus meneguhkan peran dan perjuangan perempuan tersebut dalam konteks saat ini. Hari Ibu dalam konteks pasca konflik harusnya meneruskan perjuangan perempuan menjadi lebih massif dan bermakna pembebasan dari kemiskinan, pemiskinan; meneguhkan peran politik perempuan untuk pembangunan pasca konflik yang damai dan adil; memperjuangkan hak-hak kedaulatan atas tanah (yang dekat dengan akar sebagai perempuan).

Hanya dengan demikian, Hari Ibu bukan lagi melegalkan ke-ibu-an yang bias gender tapi sebuah momentum untuk perjuangan perempuan bagi keadilan. Selamat Hari (Gerakan) Perempuan Indonesia. Mari Berjuang!

1 komentar: