Ngkai Sagiagora

Diusianya yang sudah 70 tahun, seharusnya dia sedang menikmati masa tuanya. Menggendong dan bermain dengan cucunya, menikmati keindahan Danau Poso di tepi rumahnya, sesekali berbicara dengan para anak muda di kampungnya tentang masa depan, atau sekedar menjaga dan merawat kesehatannya.

Dia, Ngkai Sagiagora, memilih lebih dari itu. Rambut putih dikepalanya tidak menuakan semangatnya. Ia bukan kritikus ulung, apalagi pejabat teras pada departemen khusus pemerintahan. Resimen warisan feodal sekalipun seperti Pamong Praja bahkan tak pernah berhasil menghalau kharismanya.

Meskipun berjalan agak pelan, seringkali tertatih, dengan agak membungkuk,dia tetap berjalan di depan, hampir selalu ada di setiap kesempatan. Cucu, anak-anaknya, keluarganya, semua anggota masyarakat, terutama kehidupan generasi adalah alasannya memilih berada di baris depan, terdepan, ketika warga Peura menyatakan penolakan terhadap tower SUTET PLTA Sulewana di wilayah pemukiman.


Ngkai berbicara sangat sedikit. Seringkali hanya tersenyum sangat ramah penuh kasih, membuat semua orang merasa sebagai anak atau cucunya. Kalau berbicara, agak pelan namun tegas. Beberapakali terdiam sebelum melanjutkan perkataannya. Seakan semua pikiran dan perasaannya lebih baik digambarkan pada pilihannya untuk bertindak. Pandangannya tidak tajam menusuk pada seseorang yang diajaknya berbicara, namun sejuk seakan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Kegelisahan akan nampak padanya jika sudah memilih untuk bermain dengan cucu-cucu disekitarnya. Seakan berpikir mengenai bagaimana kiranya masa depan generasi ini jika lintasan SUTET tidak dipindahkan ke luar pemukiman.

Rasa sakit di badannya tidak menghentikan langkahnya kesana kemari mengikuti berbagai pertemuan, diskusi-diskusi, rapat-rapat, bahkan aksi protes di jalan. Waktu pagi, siang, malam, dalam cuaca panas, hujan, udara yang dingin selalu berada bersama dengan semua orang demi untuk menyatakan pendapat tentang kehidupan yang mereka inginkan bebas dari rasa takut. Dia sedikit berbicara, namun kehadiran Ngkai selalu jadi kekuatan bagi orang di sekitarnya untuk berbicara.

Ngkai menolak hanya berdiam diri di rumah meskipun dinyatakan dokter tidak boleh banyak bergerak dan berpikir. Pikiran dan perasaannya terus bergerak dalam dinamika perjuangan orang Peura menolak SUTET. Ngkai menolak hanya duduk di dalam tenda darurat yang dibangun warga untuk menyatakan penolakan tower SUTET di pemukiman. Sekali waktu ikut duduk ditengah jalan menghadang truk pembawa material pondasi tower. Saat itu sedang hujan sangat deras. Hari berikutnya jatuh sakit.

Pada hari-hari penolakan berlangsung keras, badan yang renta ditegakkannya, bersikeras turut duduk di tengah jalan meski dibantu dengan kursi, saat sedang panas terik. Kedua tangan keriputnya direntangkan, siap ditabrak jika harus begitu. Makian tidak pantas dari orang yang jauh lebih muda darinya diterimanya dengan tegar. Matanya tetap memandang hangat pada orang yang menganggapnya pemberontak, bahkan menuduhnya provokator. Saat itu bersama-sama dengan warga Peura lainnya menolak untuk beranjak dari tempat duduk saat aparat Polisi, TNI dan Satpol PP mulai dikerahkan untuk menarik-narik tangan hingga menginjak badan beberapa warga. Katanya, tegas: “ Apa yang kami lakukan ini bukan hanya untuk kami sendiri, tapi untuk semua masyarakat. Dan, kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan”

Itu bukan kata-kata kosong. Ngkai menjalani arti kata-kata itu penuh kesungguhan, tak pernah dibuat-buat. Seringkali melebihi apa yang seharusnya bisa ditanggung oleh badannya yang renta, matanya yang rabun.

Suatu hari, sepulang dari rumah sakit, dengan badan yang masih gemetar karena lupa makan, datang ke rumah dan bertanya pada saya “Nak, apa lagi yang harus Ngkai buat supaya towernya pindah?”

Di usianya yang renta, Ngkai tetap bertanya, harus buat apa lagi? Pertanyaan yang menyiratkan semangat yang tidak padam dimakan usia, bahkan penyakit. Pertanyaan yang menggambarkan ketulusannya mengorbankan apapun yang ada dalam dirinya demi merebut rasa aman dari rasa takut, demi kehidupan bagi generasi yang mungkin tidak lama akan dilihatnya dengan raga.

Di usianya yang renta, Ngkai berpikir tentang sesuatu yang lebih jauh ke depan.Bagi generasi ke depan. Mungkin lebih dari yang dipikirkan, dipedulikan oleh generasi yang akan menjalani masa depan itu. Dalam pilihannya bertindak, Ngkai memberikan panutan, tanpa menyatakan diri sebagai panutan. Ngkai, bahkan menempatkan orang lain sebagai orang yang lebih penting di luar dirinya.

Ketika pertama kali bertemu dengan saya, kondisi kaki saya adalah perhatian utama Ngkai. Dia tidak menghiraukan bahwa beberapa jam lagi saya akan memimpin pertemuan antara warga dengan perwakilan PT Poso Energy. Jangankan berdiskusi mengenai topik dampak SUTET atau keadaan masyarakat yang sudah berselisih dan saling bermusuhan, Ngkai sibuk bertanya mengapa, kapan, bagaimana dan sebagainya, berusaha mencari solusi agar kondisi kaki saya segera membaik. Saya terkejut mengingat biasanya orang akan menganggap hal itu biasa bagi saya. Ngkai dan beberapa warga bahkan kemudian merancang di suatu kesempatan, selama beberapa hari akan mengurus kaki saya saja. Pengobatan tradisional. Dalam kondisi badan yang sakit, Ngkai tidak pernah tidak memikirkan orang lain.

Bahkan ketika rasa kehilangan yang sangat dalam sedang saya alami, Ngkai menunjukkan kesetiakawanan yang luar biasa dari seorang yang renta. Dalam kondisi yang kurang sehat tetap bersemangat menempuh perjalanan berbatu terjal lebih dari satu jam, bersama ratusan orang Peura lainnya. Kehadirannya memberikan hiburan, kekuatan dalam kebersamaan saat itu. Dalam pidato yang disampaikannya dalam bahasa Pamona, Ngkai mengatakan “Lian, tidak pernah kehilangan orang tua. Saya, kami semua adalah orang tuamu sekarang. Keluargamu. Kamu tidaklah yatim piatu”

Tangannya mengatup taksim saat itu. Wajah keriputnya menunjukkan kehangatan. Saya tersekat, haru.

Ngkai, telah melewati puluhan tahun ragam kehidupan. Telah lebih tahu tentang makna kehidupan ini. Berada dalam lingkaran lingkungan yang masih kagum mewarisi bahkan mempertahankan feodalisme; dimana usia tua dianggap angka kematangan, identitas kesukuan masih sering dianggap penting, atau bahkan marga dan keturunan jadi patokan penilaian, seorang Ngkai Sagiagora melampaui batas-batas itu. Dengan penuh rendah hati membuka tangan, menyambut kehadiran saya yang masih muda (dan banyak kawan lain) dan belum berpengalaman serta masih sering emosional dan gegabah, menerima dan menempatkan setara dengan dirinya untuk didengarkan. Usia, muda atau tua, rupanya baginya bukanlah batas bagi sebuah perjuangan bagi kehidupan. Baginya, setiap orang yang berjuang bersama, bersatu untuk merebut kehidupan adalah setara.

Pernah, berulangkali, dengan setia menemani saya dan kawan lain hingga tengah malam, sampai subuh hari berjibaku dengan kertas-kertas dan catatan. Saat itu, meskipun tahu bahwa dirinya tidak terlibat menyusun konsep, Ngkai sanggup menahan kantuk, duduk berjam-jam mendengarkan kami. Bahkan ketika banyak orang sudah memintanya tidur lebih dulu agar tidak jatuh sakit lagi, Ngkai hanya menatap dengan senyum. Tidak beranjak dari tempat duduknya. Beberapa menit kemudian sibuk membaca kertas-kertas pernyataan sikap warga dengan sangat serius. Sudah pukul 02.00 dinihari. Tidak juga beranjak meninggalkan kami, memutuskan menemani anak-anak yang juga masih bermain dengan kertas gambar. Esok paginya saya baru tahu, Ngkai menunggu kami semua yang lebih muda tertidur baru masuk ke kamar tidurnya.

Pikiran dan perasaanya sangat mendalam, detail mengenai semua hal.

Teringat, di suatu hari di rumahnya yang terletak di tepi Danau Poso, saat itu sangat banyak orang, Ngkai berdiri di samping pintu rumah, berkata dengan suara yang dapat didengar banyak orang, mengumumkan: “Halimah Ismail, itu namamu sekarang”. Nama pemberian untuk saya yang sampai sekarang belum pernah tahu apa arti atau mengapa nama itu. Sebuah penghormatan, yang datang dari seorang tua yang terhormat.

Hari itu, ketika mendengar kabar, kesedihan ini tidak tersampaikan dalam kehadiran. Jarak dan kondisi terlalu tidak memungkinkan. Lewat telepon, ibu Betty bilang “Ngkai selalu tanya kondisi kaki bagaimana. Ngkai sangat senang ketika dengar nanti akan pulang sudah dengan jalan biasa. Ngkai juga menyampaikan kerinduan agar nanti orang Peura bisa hidup aman dan damai satu sama lain, karena tower dipindahkan di luar pemukiman”. "Ngkai tidak pergi, karena Ngkai hingga akhir hidupnya tetap dalam posisi berlawan" lanjut ibu Betty.

Yah. Teringat, hari itu Ngkai bicara lebih panjang dari biasanya. Katanya “Kenapa kami, masyarakat yang kecil ini karena tidak punya uang, tidak ada yang mendukung. Sedangkan maksud kami adalah demi perlindungan anak dan perlindungan masyarakat. Inilah perjuangan kami. Dengan adanya tower, yang akan berdiri di pantai ini itulah yang masyarakat ragukan. Karena jaringan akan melalui danau, sedangkan di danau ini anak-anak setiap saat mereka akan mandi, dan warga masyarakat setiap hari keluar masuk. Itulah yang kami ragukan dengan kedudukan tower yang ada ini, tidak kena pada tempatnya yang sebenarnya. Itu lagi yang kami ragukan. Jadi barangkali itu yang sedikit kami sampaikan, bahwa perjuangan kami ini, kami tetap akan berjuang sampai tetesan darah yang terakhir”

Ada segunung kecemasan yang tergurat dalam wajah tuanya. Dia tidak mengerti kata-kata sulit yang seringkali didengungkan tentang pembangunan oleh para ahli bicara. Juga tidak tahu apa itu kapitalisme yang dikutuk semua aktivis. Tidak juga banyak slogan-slogan perlawanan yang diucapkannya seperti para orator.

Yang dimengertinya dengan pasti adalah kehidupan anak cucu, masyarakat Desa Peura terancam.Yang diketahuinya, tanah-tanah akan terampas habis oleh orang kaya. Yang dirasakannya, perpecahan dan konflik terjadi diantara para saudara karena kekuasaan. Dan, apa yang dimengerti, ketahui, dirasakannya itu yang membuatnya berdiri di barisan depan kaum berlawan. Bersama para orang tua lainnya, dan anak-anak muda. Tidak berhenti. Tak menyerah. Menyerahkan hidupnya untuk perjuangan merebut kehidupan bagi anak-anak generasi setelah dirinya.Hingga akhir hayatnya.

Dalam diam yang panjang, catatan ini dibuat, untuk seorang pejuang. Inspirator.

Perasaan kehilangan ini adalah sebuah kenangan indah tentang perjuangan atas kehidupan yang tidak pernah mati bahkan ketika kematian datang. Tahun berganti, musim berubah, orang-orang datang dan pergi tapi seorang Ngkai Sagiagora menunjukkan cara hidup yang menghormati kehidupan bahkan untuk generasi yang belum dilihatnya. Raga boleh dipisahkan dari, namun jiwa dan semangat akan hidup selalu dalam hati.

Selamat jalan, Ngkai Sagiagora. Terimakasih untuk jejak kehidupan yang ditinggalkan agar kami terus belajar, berjuang untuk kehidupan. Berbuat.

Halimah Ismail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar