POLMAS : Si Parasit...!

Oleh : Lian Gogali

“Lian! 450 Polmas mau ditempatkan di Aceh dalam waktu dekat ini!” suara Koordinator Nasional Liga Inong Aceh terdengar tertekan saat menelpon saya. “450 orang untuk satu kabupaten!...lanjutnya“Lia
n, ini calon-calon pelaku pelecehan pada perempuan Aceh,..lagi..”Kawan saya ini seorang laki-laki “lagi….lagi.., lian, bagaimana ini?” Poso adalah proyek percontohan pertama penempatan polmas.

Bagaimana ini??Masih lewat telepon, kawan saya melanjutkan dengan mulai mendata ratusan perempuan-perempuan yang dalam setahun terakhir ini melaporkan kasus-kasus pelecehan seksual,kekerasan, pemerkosaan, kehamilan tak diinginkan yang mereka alami ke LINA. Laporan ini baru diperolehnya dari dua kabupaten di Aceh. Aceh sendiri terdiri dari 23 kabupaten. Kami mulai menghitung bersama. 450 untuk 1 kabupaten. Rata-rata jumlah penduduk 1 kabupaten adalah 360.000. Terdapat 23 kabupaten. Aha, apa yang anda pikirkan? Atau, apa yang mereka pikirkan? Mereka ini sudah tentu pihak disana itu. Pengambil keputusan demi keamanan masyarakat atau keamanan nasional, istilahnya. Dalam hati saya bersyukur, kawan saya ini trauma dan memahami apa maksud saya saat menggambarkan polmas di Poso dan berdebat dengan pihak dari Departemen Pertahanan dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Departemen Pertahanan mengatakan: “jangan menuduh tanpa bukti, hanya berdasar pada satu dua kasus, ini berbakti untuk bangsa!” Pihak kementrian pemberdayaan perempuan mendengar informasi dari pihak pimpinan tertinggi kabupaten bahwa polmas adalah pemuda terpilih dari warga lokal Poso yang secara khusus dilatih untuk memahami masyarakat. Wah,..

Kembali ke dunia nyata, beginilah yang terjadi: Pemuda-pemuda muda usia, lulusan setara SMU, berasal dari Jakarta, Bandung, Bali, bermodalkan pelatihan sebulan dengan materi pengembangan intelegensia dalam masyarakat dan fungsi pengenalan status sosial dalam masyarakat (berdasarkan informasi dari Bina Mitra Polres Poso). Berjumlah 664 orang, ditempatkan di 150 desa di Kabupaten Poso. 664 orang polmas dalam satu kabupaten. Dalam satu desa ditempatkan 4 – 5 polmas. Hanya satu minggu sejak penempatannya langsung mendapatkan protes dari seluruh masyarakat. Seluruh protes tersebut beralasan, memiliki bukti, dan bukan karena satu-dua kasus. Terjadi di semua desa dimana polmas ditempatkan. Pelecehan seksual, kehamilan tidak diinginkan, ingkar janji, keributan dengan masyarakat, ketidaknyamanan dalam masyarakat.

Pertama, pengabaian pada kearifan lokal. Bina Mitra Polres Poso menjelaskan bahwa polmas ditempatkan untuk menjadi problem solving dalam masyarakat. Pernyataan ini dengan tegas mengabaikan struktur sosial yang ada dalam masyarakat (para imam,pendeta,tokoh masyarakat,tokoh adat), sekaligus menempatkan masyarakat semata-mata sebagai pelaku kekerasan dan tidak memiliki kearifan local sehingga membutuhkan campur tangan polmas, si muda belia. Kawan saya dari aceh menyebutkan terdapat kearifan lokal dalam penyelesaian masalah, misalnya melalui tuha peut 4 (yang dipertuha empat). Dalam budaya Pamona Poso, terdapat pula tua-tua adat di lembaga adat dan gereja, juga imam yang berfungsi secara sosial dalam proses penyelesaian masalah dalam masyarakat. Struktur sosial ini dalam sejarahnya telah memegang peranan yang sangat kuat, mengatur, menata, mempengaruhi, memperbaiki, dan lain-lain yang ada dalam masyarakat, bersama-sama dengan masyarakat, karena mereka adalah masyarakat itu sendiri.Bukankah secara sah pula mereka yang mengenal dan membaui, merasakan apapun dalam masyarakat dan karenanya bergerak dalam dinamika itu? Lalu polmas ditempatkan untuk problem solving?kedengarannya jadi sebuah lelucon. Menjadi lelucon yang tidak lucu. Kenyataannya, di semua desa dimana polmas ditempatkan, polmas yang justru lebih banyak menyebabkan masalah dalam masyarakat, mulai dari kasus mabuk-mabukkan, berkelahi dengan penduduk setempat hingga menghamili perempuan lalu tidak bertanggungjawab. Sialnya, jawaban pihak kepolisian terhadap keluhan masyarakat adalah “itu masalah oknum”. Jadi ingat dengan lagu Bimbo (kalau tidak salah) ‘bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak mendengar..”.

Kedua, konteks budaya. Memahami masyarakat atau menjadi mitra masyarakat mensyaratkan pengenalan, pemahaman dan penghargaan sekaligus penghormatan terhadap budaya masyarakat. Kurikulum pelatihan polmas Poso tidak memasukkan hal ini. Jangankan memahami konteks budaya dimana dia ditempatkan, para polmas memilih petantang petenteng dengan lagak dan laku mereka seenaknya. Maka ketika dua orang gadis hamil disatu desa (ini hanya satu contoh dari ratusan contoh lain), dan giwu (denda) dikenakan pada mereka, jangankan menyanggupi, menganggapnya sebagai pelanggaran adatpun tidaklah dipahami oleh mereka. Akibatnya, kata-kata “suka sama suka” atau “perempuannya kok juga suka” tidak hanya menjadi alasan yang paling sering dikatakan tapi juga melakukan viktimisasi terhadap perempuan.

Ketiga, seragam (yang baru). Polmas adalah wajah baru pendekatan keamanan dalam masyarakat khususnya pasca konflik. Sejak ditariknya aparat keamanan yang di BKO-kan, polmas adalah pendekatan baru untuk tetap “memaksa” masyarakat untuk menerima aparat keamanan. Ini adalah bentuk lain dari ketidakpercayaan pada masyarakat. Disatu pihak memelihara trauma masyarakat terhadap aparat keamanan karena dianggap lebih berfungsi sebagai bentuk lain “mengawasi” masyarakat.

Bahkan tanpa menyebut kasus-kasuspun, hal diatas sudah menggambarkan tidak ada alasan untuk menerima polmas, jika tidak dipaksa. Tetap bertahannya polmas di Poso dan akan dilaksanakannya pola yang sama di Aceh menunjukkan evaluasi dan otokritik bertubi-tubi yang dilakukan oleh semua pihak terhadap pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah diwilayah konflik tidak bertuah. Ironisnya. Berada tetapi tidak dianggap ada. Ada tetapi tidak berfungsi, sebaliknya merusak tatanan sosial dalam masyarakat. Karena itulah dia menjadi parasit. Menempel ada dalam masyarakat , difasilitasi, mendapatkan fasilitas, dibayar, dan tidak bekerja selain menelpon atau sms bolak-balik setiap hari (sehingga kata kawan-kawanku mereka tidak dibekali senjata selain handphone)

Jadi tidak banyak kataku pada kawan Aceh : “tolak!”

 Monday, December 22, 2008 at 7:39pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar